Gusti menyebutnya sebagai "her greates achievement" karena mampu menyetir sendiri Surabaya-Malang. Apalagi dengan membawa Reiko serta bersama kami.
Pergi ke Malang, tanpa direncanakan. Kami hanya berkoordinasi hari Kamis ketika kamu hujan-hujan minum es krim di Zangrandi dan makan kacang rebus. Kemudian aku telepon Anggun. Setelah kepindahannya ke Malang, dia sempat mengundang aku untuk datang ke rumahnya, dan aku sempat beberapa kali berjanji akan ke rumah dia. Kita sudah merencanakan diri, akan naik sepeda ke Batu. Minggu itu, dia available!
Siippp...
Jam 07.30 kita berangkat dari Surabaya setelah sarapan ayam goreng ala Lik Mun. Tujuan kami ke Malang: beli onde-onde di HTS, makan di Toko Oen dan Bakmi di Jalan Dempo. Perjalanan lancar sekali. Reiko tidur sepanjang jalan. Bagun selepas tol, lalu dia sarapan roti sama keju.
09.30, kami sudah sampai di Depan Terminal Arjosari. Anggun janji jemput kami
disana. Lima menit menunggu, dia belum muncul juga. HPnya aku telpon tidak diangkat. Aihh..pasti dia sudah ada di jalan. Ketika kami di Lawang, aku sudah SMS dia.
"Kamu ada nomor telpon rumahnya, Lin?"tanyaku sama Gusti.
"Gak ada. Tanya Mojo saja.."
"Ah, malas. Ada di HPku yang satunya di tas" Aku paling malas kontak Mojo, teman kuliah kami yang selalu bikin BT orang kalau diajak ngomong.
Akhirnya aku ambil HP yang aku taruh di tas yang ada di bagasi. Aku cari nomor telepon rumah Anggun. Langsung saja aku telepon.
"Nggun, kita sudah di depan Arjosari!" kataku langsung.
"Anggun sudah berangkat!" kata suara di seberang.
"Ini siapa?" tanyaku agak curiga.
"MO..."klik. Telepon langsung aku putus.
"Lin. Mojo yang angkat telepon..." Lina langsung ngakak.
"Hahahaha...maunya dihindari. Eee..ngapain dia di rumah Anggun?"
"Ah, mana aku tahu...."
Lima menit kemudian si Anggun muncul. Di boncengannya ada Eko Maskot. Lho, tambah satu orang lagi. Kita tidak menyangka, kalau di rumah Anggun kita reunian.
Benar, sesampainya di rumah Anggun, telah ada Kobo dan Mojo. Mereka sedang merokok dan nonton TV. Anggun baru selesai masak ca kangkung, goreng tempe, telur dan tahu. Bahunya mengundang selera makan. Sayangnya, kita masih kenyang. Reiko saja yang memakan bonthotan dari rumah. Nasi goreng ala Lik Mun juga.
Dia berinisiatif ambil makanan dari tas. Dengan bangga dia membawa kotak nasi kepada kami. Eee..setelah sama si Gusti di-cek, Reiko-Chan mengambil nasi dari tas dengan menumpahkan nasi goreng....Bulir-bulir nasi bertebaran di lantai. Dia meringis sambil tertawa, lalu memkan nasinya.
Setelah semua berkumpul, mandi dan sarapan; kami menuju spot kedua. Toko Oen. Karena sebelumnya kami sudah mampir di Toko Onde-Onde HTS. Kami pergi dengan dua kendaraan. Gusti setir mobilnya. Di dalamnya ada Gusti, Anggun, Reiko dan aku. Di mobil satunya yang disetiri Mojo, ada dia, Eko dan Kobo.
Bertujuh kami minum es krim di toko yang telah ada sejak 1930. Seperti tiga tahun yang lalu ketika aku kesana sama Nadia dan Sophie. Suasana tetap sama. Tulisan Welkom in Malang. Dan tulisan dalam Bahasa Belanja kalau diterjemahkan artinya begini "Untuk Kepuasan Anda". Kursi tetap barang yang sama. Dari penthil, dan dengan meja bundarnya. Juga dengan pelayan yang sama. Bapak-bapak usia 50-an tahun, agak gemuk, berwajah ramah dan menggunakan peci. Baju seragamnya berwarna putih.
Menu tetap ditulis dengan tiga bahasa: Indonesia, Inggris dan Belanda. Di pojok, seorang pemain piano asyik memainkan lagu-lagu era 70-an. Beberapa pengunjung bule tampak disana. Rupanya mereka bermemorabilia. Usia mereka rata-rata diatas 60 tahun. Konon, toko ini tetap mempertahankan resep lama. Dengan menggunaka susu sapi asli dan telur ayam kampung. Resep yang tidak berubah selama 3 generasi.
Mojo makan es krim layaknya tentara yang makan jatah ransum. Tidak ada 3 menit. Karena itu, kami juga tidak enak.
Setelah dari sana, Anggun mengajak kami ke pemancingan di Lembah Dieng. Kami menyusuri jalan-jalan dekat Universitas Merdeka yang mendadak menjadi sepi. Dulu, jalan ini ramai sekali. Kata si Anggun, ini karena dampak komersialisasi Universitas Brawijaya sebagai Uni Negeri.
"Orang lebih memilih masuk ekstensi UB daripada masuk sekolah swasta" kata dosen HI UB ini. "Dan, kalian lihat, dampaknya tidak hanya sekolah. Tapi juga pada masyarakat sekitar" Dia kemudian menceritakan, kalau dulu kawasan ini ramai oleh rumah kos dan usaha fotokopi. Sekarang, memang telah menjadi sepi. "Sudah jarang kos-kosan sama fotokopi. Bergeser kembali di tengah kota"
Di Lembah Dieng, danaunya menjadi kotor sekali. Penuh dengan pemancing. Yang, Maaf, nampaknya mereka adalah orang-orang yang menjadikan memancing sebagai "okupasi" Tidak ada pekerjaan lainnya selain memancing.
Kami tidak lama disana. Karena merasa kurang nyaman. Segera kami makan Bakmi Dempo.
Waaaa.....bakminya enak sekali. Bertempat di depan SMAK Dempo. Karenanya, namanya dikenal sebagai Bakmi Dempo. Antriannya panjang sekali. Kami tidak mendapatkan tempat duduk. Satu porsi Rp. 7.000,00. Lalu, kami makan dengan nikmat.
Jam 16.00, setelah Reiko-chan dan aku mandi, kami memutuskan untuk kembali ke Surabaya. Takut macet di Porong kalau kami balik terlalu malam. Mendung tebal sekali.. Begitu kami mulai keluar dari Kota Malang, hujan turun dengan deras sekali.
Thursday, 5 February 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment