Shock Culture atau keterkejutan budaya adalah hal alami yang orang yang baru saja mengalami perpindahan budaya.Bisa dari negara berkembang ke negara maju. Ataupun sebaliknya. Gegar budaya saya alami ketika menginjakkan kaki di negeri sebelah Batam. Saat itu, tiga jam kami mengantri di Custom. Dengan tas ransel 40 literku, dan satu tas kecil. Ratusan orang berjajar dengan tertib hanya untuk sebuah stempel, dan ucapan “Have A Nice Stay…”
Ketika tok petugas ditancapkan di atas paspor kami, senyum kami mengembang. Padahal, masuk angin dan kaki kram rasanya campur-campur. Segera, kami serasa terdampar di planet lain. Sebuah tempat bernama Harbour Front. Sumpah, kami tidak tahu bagaimana membeli tiket MRT. Kami tidak pernah ke negeri ini sebelumnya. Kami (Sophie, Nadia, Judith dan aku), hanya seperti alien yang baru saja mendarat di bumi. Seperti Kabayan yang datang ke Jakarta. Kami benar-benar linglung. Kami mungkin lost in translation kalau meminjam istilah film yang dibintangi oleh Bill Murray dan Scarlett Johansson.
Kami memandangi outlet-outlet mewah di terminal ferry ini. Kita harus kemana? Mengapa, satu jam naik ferry dari negeri seberang sudah menjadi sangat berbeda sekali? Baik bahasa, orang-orang, kebudayaan, dan lainnya. Padahal, hanya sebuah laut yang memisahkan. Negeri ini, terlihat dari seberang. Tak lebih dari sebuah noktah kecil berwarna hitam.
Kami bertemu dengan seorang bapak. Mengaku sebagai pelaut dari Jakarta, dan mengajari kami bagaimana membeli tiket di vending machine, dan menyimpannya karena akan digunakan untuk kita keluar lagi. Kami harus turun di Boogis MRT Stasion. Di Seiyu karena kami akan ke Rochord Road (bukan Orchad Road yang terkenal itu, Kawan).
Sekali lagi Kawan, kami mengalami shock culture ketika mendaratkan kaki di stasiun Boogis. Karena tiba-tiba saja kami terdampar di sebuah mall!!!! Yang dikenal dengan Seiyu Department Store. Pada akhirnya, kami menjadi tahu, kalau di negeri seberang itu, stasiun MRT pada umumnya gabung dengan mall atau pusat perbelanjaan. Karena kawan, di negeri sebelah ini sebenarnya adalah negeri Pasar Besar. Kawan bisa belanja. Tapi, kami hanya bisa berjalan-jalan, demi hebohnya jutaan dollar yang dibakar di Marina Bay. Sambil orang berteriak “Happy New Year 2007!” sambil melempar botol-botol bir, di tengah hiruk pikuk musik punk di Esplenade Park!
Sekali lagi, kami mengalami gegar budaya. Tidak pernah kami lihat kembang api sebesar itu! Hanya kembang api di Perak yang pernah kami lihat. Kecil-kecil dan monoton. Dan, Kawan, ketika kami melintas di depan Swiss Bell Hotel, kami mengalami gegar budaya untuk kesekian kalinya. Kami lihat Dede Yusuf, anggota DPR kala itu (sekarang wagub Jabar), sedang ber-old and new year di tengah terompet dan orang yang menyanyikan Auld Lang Syne.
Friday, 6 February 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment