Ritual yang harus dilakukan paska traveling adalah pijat. Rasanya, tubuh remek, capek dan loyo tidak akan sembuh sebelum disentuh tangan tukang pijat. Nah, Indonesia sekali bukan?
Ketika tubuh kita disentuh oleh tukang pijat, rasanya seperti kita menyerahkan hidup kita sepenuhnya pada tukang pijat. Untuk membuat otot-otot kita yang kaku karena membawa ransel dan perjalanan tanpa henti menjadi kembali lemas, dan bisa kembali tidur dengan nyenyak.
Capek yang berlebih dan bercampur masuk angin, dapat membuat nafas sakit sekali.
Kadang, pijat ketika kita jalan akan memangkas budget untuk yang lainnya. Karena di LN biasanya pijat lebih mahal. Waktu 2006 saja, ketika sempat cari tukang pijat di Lucky Plaza, tarifnya lebih dari SGD 30 untuk 15 menit saja. Waduh, siapa yang mau. Di negeri kita tercinta, tarif untuk pijet refleksi langgananku, Shin Chung Kok saja kalau itu hanya Rp. 35 ribu per jam. Dan, tukang pijat tunanetra yang kelak di kemudian hari aku temukan, tarifnya hanya Rp. 25 ribu selama 1,5 jam! Puas, seluruh badan lagi.
Langgananku pijet memang ada dua. Pertama, di pijet refleksi. Terus di tukang pijet tunanetra di belakang kantor yang suka sekali nonton (mendengarkan) sinetron!
Yang paling update masalah perpijetan terjadi minggu yang lalu. Karena perjalanan 20 jam non stop (stop cuman ganti pesawat doang), dari Detroit ke Bangkok, membuat leher belakangku kaku banget (tidur terus sih), terus persendian di punggung rasanya nyeri sekali. Bahkan terasa sampai di pangkal otak dan kepala. Itu aku alami selama beberapa hari. Seharusnya, sehari setelah aku landing aku pergi pijet. Tapi, karena kalah dengan rasa kantuk, akhirnya kubatalkan saja. Padahal, besoknya sudah harus balik kantor dan Sabtu ada tes.
Tubuh rasanya loyo sekali. Mata merah. Tapi, aku paksa saja pergi fitness. Dengan pertimbangan, kadang fitness membantu mengurangi rasa capek (eeittt...tapi tidak fatique ternyata!). Tetap saja tidak sembuh.
Hari Minggu, ketika rumah sedang diperbaiki dan hadir di acara temu alumni FE (duh, padahal aku bukan alumni FE), jadinya karena merasa salah tempat dan rasa capek tak terperikan, aku telpon tukang pijat tunanetra langgananku. Dia ternyata lagi ada order. Wah kemana nih? Ke tukang pijet refeksi, aku agak kapok karna tempo hari pernah dikasih tukang pijat yang tidak enak. Tapi, aku tidak bisa ngomel karena melihat tampang tukang pijatnya yang melas.
Lalu, aku bilang pada resepsionis aku mau tukang pijat yang enak. Dikasihlah yang namanya Nata. Anaknya kecil. Tapi pijatnya enak.....Tahu tidak, dia sampai berkeringat-keringat memijatku. Katanya, "Wah, parah sekali Mbak capeknya. lehernya kok sampai kaku begini. Aku sampai ngeden-ngeden, Mbak!" Dan, tak kalah sensasionalnya, aku menjerit-jerit di tempat pijat! Padahal, tak biasanya aku menjerit-jerit. Biasanya, aku senang dan santai saja. Sakitnya sih biasa dan standar. Yeah..seperti pepatah di tempat pijat itu, Sengsara Membawa Nikmat! Sengasara waktu dipijat, tapi nikmat setelahnya. Nikmat tidur yang utama. Ketika kita menjerit, tukang pijat akan dengan senangnya memandang wajah kita yang kesakitan. Duh, sadis benar............Tapi setelahnya, memang aku dapatkan kenikmatan itu............
Monday, 5 January 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment