Monday, 26 October 2009

Kampung di Seberang Sungai

Aku lahir di sebuah kampung kecil di Tulungagung yang bernama Kalituri. Ada sebuah sungai kecil yang memisahkan kampungku dengan Kampung Kedungsoko. Sungai yang tidak bernama. Hanya kita tahu, sungai itu bermuara di Laut Selatan setelah melewati Terowongan Niama. Sebuah terowongan yang dibangun pada jaman penjajahan Jepang, dan dibangun kembali pada sekitar tahun 1980-an. Ketika dibangun ulang ini, dilakukan juga pengalihan aliran sungai. Dari dulunya bermuara di Laut Jawa, menuju ke Laut Selatan atau Samudera Hindia (Indonesia). Ketika masih bermuara di Laut Jawa, kampungku banjir sepanjang tahun. Air tidak mau mengalir. Laut Jawa sudah terlalu penuh dan jenuh dengan air.

Nah, kembali ke kampung seberang sungai itu. Kampungku dan kampung seberang sungai itu, dulunya dihubungkan dengan sebuah jembatan bambu kecil di depan rumahku. Atau perahu kecil yang terbuat dari tumpukan drum (tong). Jembatan bambu ini tidak bertahan lama, dan diganti dengan jembatan dari besi yang dicat warna merah. Jembatan yang baru itu, agak jauh dari rumahku.

Dari pinggir sungai, tampak rumah-rumah di kampung seberang itu kecil-kecil sekali. Hanya nampak samar-samar saja. Yang paling jelas itu, rumah dari Pak Lurah Siis. Karena rumah itu paling besar. Bahkan balai kelurahan, dan sekolah yang terletak di sebelahnya juga tampak kecil. Tidak kelihatan tulisan-tulisan yang ada di kampung seberang sungai. Hubungan orang-orang di kampungku dan kampung seberang sungai itu jarang dilaksanakan. Orang-orang kampungku, menganggap kampung seberang sungai orang-orangnya lebih egois, karena memang secara administratif masuk ke dalam wilayah Kecamatan Kota (Tulungagung). Ini bisa dilihat, apalagi ada orang meninggal dunia. Yang melayat sedikit sekali. Beda dengan kampungku,yang sampai antri dan melimpah ke jalanan.

Dengan bergulirnya waktu, kampung di seberang sungai itu, tidak lagi tampak kecil. Tidak perlu pergi ke pinggir sungai, dari teras rumah ibuku saja, sudah bisa melihat apa yang dilakukan oleh orang-orang yang di kampung seberang sungai itu. Tulisan SDN Kedungsoko I, Balai Kelurahan ataupun kantor Babinsa tampak dengan jelas. Kampungku dan kampung seberang sungai, tidak lagi berbatas. Tipis sekali.

Kenapa bisa tampak lebih dekat? Atau memang dari dulu sebenarnya suhda dekat? Hanya dulu, aku melihat dari kacamata seorang anak-anak. Atau, memang dunia sudah benar-benar menyempit (shrinking). Seperti globalisasi yang telah menjadikan dunia sempit dan mengkerut dalam sebuah frame. Ketika kita connect dengan internet, dunia kita menjadi tanpa batas. Hanya dengan mengetik www. Oh, betapa ampunya tiga huruf ini.

No comments: