Sunday, 29 November 2009
My Retreat
Friday, 13 November 2009
It Is Cloudy In Surabaya
Tadi pagi masih panas. Gerah. Bahkan, ketika bangun tidur gerah sudah tidak terelakkan. Hujan memang datang telat tahun ini.
Mengapa hujan selalu dirindukan?
Karena hujan membawa kesejukan.
Karena hujan membawa bau tanah.
Karena hujan membawa kesuburan tanah.
Mengapa hujan tidak diinginkan?
Karena hujan selalu membawa persaan gloomy dan sedih.
Karena hujan selalu kelabu.
Karena hujan, kadang membawa banjir.
Tapi, saat ini, aku mengingkan hujan.
Untuk membasuh habis kemarau panjang.
Untuk membasuh habis semua dosa-dosa.
Karena aku tetap tahu, dalam hujan selalu ada kesejukan.
Wednesday, 11 November 2009
Tales of Our Friendship
Last night, I went online. Coincidentally, Bebe and Tika were online too. Sudah lama aku tidak online dengan mereka berdua. Bebe sedang menapaki kehidupan sebagai pelajar di Essex University (UK). Selain itu, ada perbedaan waktu tujuh jam. Tika sibuk dengan virtual farming-nya. Sepertinya dia online, tetapi tidak pernah membalas kalau disapa. Akhirnya, kita mengobrol tentang banyak hal. Biasalah, cewek pasti bergosip. Tentang kehidupan baru Bebe di Essex, tentang kuliahnya, tentang teman-teman di flat dia. Dan, tentu saja tentang siapa yang keren di kampusnya. Juga tentang
Delapan tahun yang lalu, aku mulai mengenal baik keduanya. Benecia Eriana Magno (Bebe) dan Kartika Candra (Tika). Mereka berdua bershio ayam dan aku bershio monyet. Artinya, aku yang tertua. Tika menjadi yang termuda, karena dia lahir di bulan Agustus dan Bebe lahir di bulan Januari.
Dari list banyak teman di dunia ini, mereka menempati list yang “paling yang dirindukan”.
Baiklah, aku mulai perjalanan dengan Bebe. Bebe adalah satu tahun lebih senior dibandingkan aku. Tetapi, dia lebih muda daripada aku. Pertemuanku dengan Bebe waktu itu di gazebo FISIP. Kalau tidak salah 2001. Ketika itu, dia baru saja kembali dari bangku kuliah paska referendum di Timor Leste. Dia memilih melanjutkan kuliahnya di Universitas Airlangga dibandingkan menjadi diplomat karier kala itu. Padahal, dia sudah terpilih dan siap-siap untuk ditempatkan. Bertahun kemudian, aku tanya alasan dia untuk memilih kembali ke Unair daripada menjadi diplomat, dan apakah dia tidak menyesal. Dia bilang tidak. Keinginannya waktu itu hanya melanjutkan kuliah. “Kalau aku tidak kembali ke kampus, aku
Sekarang dengan Tika. Kalau Bebe adalah kakak kelasku, Tika adalah adik kelasku. Kita mulai dekat pada 2002. Waktu itu, dia dan dua orang temannya sedang mempersiapkan makalah untuk dibawa ke pertemuan nasional. Seorang teman dan aku mereview tulisan mereka. Tapi sering aku coret disana dan disini plus omelan dari aku. Sok banget waktu itu, hehehe. Akhirnya, kita menjadi dekat juga, karena kita juga sama-sama tertarik dengan sastra! Tika punya catatan tersendiri bagaimana dia dekat dengan Bebe. Ketika kita mulai dekat itu, aku sudah agak jarang ke kampus. Lebih banyak diam di rumah dan mengerjakan skripsi, hehe.
Tapi, beberapa hal kemudian menyatukan kami. Sastra dan absurditas. Oh, betapa kami suka bekhayal (sampai sekarang ternyata masih suka ngayal juga). Kalau suatu sore kami minum teh dicampur madu, dan makan cookies buatan Mama Bebe, kita berpura-pura sedang ada di sebuah apartemen di Paris, dan memandang Sungai Seine. Sambil memandang Gereja Norte Dame. Kenapa Paris? Waktu itu, kita adalah pengagum Sarte dan Foucault… hahaha.
Kami bertiga, suka mengobrol masalah sastra, buku, politik, budaya, musik, dan tentu saja tentang lelaki. Ketika kami tidak terlalu bokek, kami paling suka makan sate dan gulai kambing di sebelah Apotik Kimia Farma di Jalan Darmawangsa. Sate dan gulai disana paling enak. Setelah makan sate dan gule, biasanya kami langsung kepanasan dan berkeringat.
Selama saling mengenal ini, kami mulai mengenal sifat masing-masing. Sifat yang baik atau yang buruk. Mereka berdua, sangat santai dalam segala hal. Sementara aku sering dianggap “serius” dan teratur. Pernah dalam suatu masa, kami janjian untuk nonton pertunjukan teater atau film, aku sudah lupa. Kami sepakat ketemu di kampus jam 18.30 di gazebo FISIP. Aku tunggu sampai dengan jam 19.00 mereka berdua belum muncul. Akhirnya, aku meninggalkan tempat itu, dengan ngamuk. Dalam perjalanan pulang, aku menemukan mereka sedang ngobrol dengan beberapa orang di warung kopi. Langsung saja, aku pilih ngacir dan tidak jadi nonton teater malam itu. Hehehe. Intinya, aku ngamuk. Mereka berdua kebingungan. Kalau dipikir-pikir, aku memang orang yang ngamukan. Semua kadang minta presisi dan tepat waktu, hehe. Seperti hidupku yang sangat teratur.
Tidak selamanya hubungan kami baik-baik saja. Sering kami berselisih paham dan “sedikit duel” seperti adegan terakhir Bebe dengan aku perkara “celana pendek” dan “hooker” di Pattaya. Semuanya berakhir juga dengan baik. Karena kita, mengatakan dengan apa adanya. Tidak perlu jaim. Karena itulah, kita bisa mengenal dengan lebih baik.
Kami juga sering tidak setuju dengan pilihan-pilihan hidup Tika. Atau beberapa keputusan Bebe. Atau kekeraskepalaanku dalam beberapa hal. Tapi, kita menghargai keputusan masing-masing orang. Kita hanya sahabat. Yang berusaha untuk saling mengingatkan. Pasti ada ketika kita saling dibutuhkan. Kami juga tidak berkomunikasi dengan intens. Tidak setiap hari harus kotak mereka dan mengetahui mereka sedang melakukan apa. Bagi kami, yang terpenting, kami selalu ada satu sama lain. Bisa saling melengkapi. Lalu, kita kembali pada kehidupan masing-masing. Bebe dengan kehidupan barunya di Essex. Tika bergulat dengan
PS: posting ke-100
Tuesday, 10 November 2009
Tragedi Moslem Meal
Yang ada di depan mejaku adalah makanan dibungkus dalam aluminium foil. Di dalamnya, aku buka, berisi dal! Itu, makanan India yang berasal dari kacang hijau, yang dimasak dengan bumbu semacam kari. Terus, ditambah dengan sayuran. Menurutku, seperti bayam yang dimasak sangat nyunyut. Ditambah dengan kentang rebus. What the hell is this? Karena hanya itu yang diberikan, akhirnya, aku makan saja hidangan itu. Tidak lama kemudian, cewek Jepang di sebelah kiriku dan bule botak di sebelah kananku mendapakan makanan. Mereka bisa memilih diantara beberapa menu. Beef, or chicken. Mereka lalu makan beef, chicken dan omlette dengan nikmatnya. Aku harus berjuang keras untuk menghabiskan makanan vegetarianku!
Ketika tiba saat mengudap, yang datang di hadapanku adalah beberapa biji wortel dan anggur. Duuhh....Seperti kelinci, aku makanan kudapan "sehat" itu. Dua orang di sebelahku, mendapatkan burger. Dan, mereka makan dengan nikmatnya. kraus...kraus..kraus...
Ketika makan besar kedua, masih pula kami mendapatkan moslem meal. Aku sudah lupa apa saja menunya. Tetapi, tidak jauh-jauh berbeda dengan yang pertama. Masakan rasa kari.... Dengan kentang, kacang hijau, sayuran nyunyut dan roti. Duh, I lost my appetite. Sementara baru omlette masuk ke dalam hidungku. Benar-benar menggoda selera makanku. Oh, I love omlette.
Makan kudapan tahap dua, juga tidak banyak bedanya. Buah...buah..buah..dan kraus-kraus seperti kelinci dan sapi.
Ketika kami ganti pesawat dari Narita ke Bangkok, orang-orang yang mengalami nasib sama sekitar 15 orang. Kami semua protes. Dan, mulailah kami paham apa yang dimaksud dengan MML (Moeslem Meal). Makanan muslim. Makanan yang halal dan non daging. Itulah yang dipahami oleh perusahaan penerbangan luar negeri. Jadi, posisi kita disamakan dengan para vegan. Anehnya, ketika penerbangan pergi ke USA, kami mendapatkan menu biasa.
Akhirnya, kami menjelaskan kepada mas pramugara yang cuakeppppp kalau makanan orang muslim itu berbeda dengan makanan vegetarian. Orang muslim, itu bisa makan ayam, daging, telur atau ikan. Kita hanya tidak diperkenankan makan babi saja. Dan, kita mohon untuk "dibebaskan" dari makan makanan para vegetarian. Karena jujur, kita tersiksa dan tidak bisa menikmati makan, hahaha.
Akhirnya, selesai sudah tragedi moeslem meal tadi. Kita mendapatkan makanan yang sangat lezat, berupa salmon! Dan, seterusnya, sampai Jakarta... Nikmatnya...
Looking for The First House Hotel
The bus Number 12 brought us to the city. Left us in Ding Daeng bus halte. We still had no idea how to get to Petchburi Road. We met few people who can speak English, or at least able to show us direction. Fortunately, we me a guy, who would like to take bus to Pratunam. This place is near Petchburi Road. Here we goes.
Down from the bus, we still looked for the "Petchburi Road" We found it. But nobody knew where that HOTEL. So, we decided to get hotel in Pratunam District. Perhaps, this area is like Tanah Abang in Jakarta or Pasar Turi (now PGS) in Surabaya. People are coming here to buy some clothes. Clothes and other textile products are inexpensive. One that drove me to find hotel in this area was The Bayoke Sky Hotel. Emmy told us that the rate of this hotel is affordable. But, when we tried to check in Guest Information, that the rate reached THB 4.000! So it's around Rp. 1,2 million. Wow. We could not afford it. Emmy and I decided to find other hotels and left Bebe in Bayoke Sky Lobby to watch our belongings, hehehe. Bebe complained but we did not listen. :D
We went to several hotels, including Bayoke Boutique (I guess, this hotel that Emmy meant. The cheap one Bayoke...). Finally, we decided to stay in Khuranna Inn. We paid for THB 1.800 for three persons. Actually, they offered us THB 2.000. But Emmy did good job. She bargained!. The room was spacious, with 24 inch flat TV, and shower of cold and hot water. And yes, one more thing, two doors refigerator! This hotel was just renovated. We could smelled the paints.
We love our room. But, we were still curiuos with First House Hotel. Emmy search through the internet, and we found it. THB 1.500 per night for two persons. Emmy booked through her VISA. And, the next day, we looked for this place.
There is another hotel named First Hotel in Petchburi Road. Just crossed the road of KBRI (Indonesian Embassy). We thought, that here's the hotel! We were in, and asked a girl in Information Desk. We told her that we had booked the room, for THB 1.500 per night. She told us, it is impossible to release via website about the room rate. The actual rate was THB 4.000, just the same as Bayoke Sky Hotel. So, it's other hotel, she told me.
We kept looking that First House Hotel. Because we have booked it, and Emmy has paid with her VISA. Finally, we found this hotel, is such small road, or in Indonesia we call it "Gang". Yeah, Soi in Thai means Gang in Indonesia. The hotel was actually small and cute. But, it was an old one. We went to the room. We found that the rug is a little bit smelly due to lack of ventilation.
Emmy asked "are you guys, sure want to move to this hotel? The THB 1.500 is for two persons? But, in our hotel -Khuranna Inn-, THB 1.800 is for 3 persons, plus breakfast" We were discouraged. And, we decided to stay in our Khuranna and lost those THB 5.00 for internet booking. Hahahaha. But, at least we found it. That First House Hotel.
Endorfin and Cafein
Monday, 9 November 2009
Notes from My Birthday
1. Aku tidur lebih awal. Karena malam sebelumnya aku tertidur di kantor. Jadi, malam Jum'at masih setengah hang over. Biasalah, faktor U tidak bisa dibohongin. Meskipun penampakan masih seperti 17 tahun. :D.
2. Sebelum tidur, membuat tiga permohonan. Tidak usah banyak-banyak. Tuhan sudah kebanyakan permintaan dari orang-orang di seluruh dunia, termasuk juga pohon-pohon dan hewan-hewan. Biasanya juga, kalau dalam cerita-cerita itu, selalu bilang "Sebutkan tiga permintaanmu" Tapi, aku berharap tiga permintaan ini bisa mengurai keruwetan-keruwetan di kepalaku. *cross my fingers*
3. Pagi hari mendapati banyak birthday wishes dalam berbagai bahasa. Baik lewat YM, SMS ataupun writing in my walls. Ada Jawa, Indonesia, Inggris, Belanda, Italia, ataupun Portugis. Yah, semuanya dengan bahasa yang diinginkan oleh orang-orang itu. Karena ucapan itu sebagai sesuatu yang sangat personal. Bahkan, ada seorang teman yang menuliskan sebuah notes untukku.
Friday morning and awaken late
Hear the alarm buzzing besides my bed
Sipping a cup of hot coffee I made
A slight of memory come into my head
I suddenly think about someone’s there
Always look for me and always care
She’s amusing with her heart is kind
She loves to fool around under the sun
Today as the morning I awaken late
She turns into the new age of 29
The new period when she decided to step ahead
Come with her the very best wishes of mine
Gambir, 6 November 2009
"Birthday wish should be personal but quoting from famous people could also be fun. One of my favorite is from Virginia Woolf who said that 'one of the signs of passing youth is the birth of a sense of fellowship with other human beings as we take our place among them.' It just reminds me on our friendship which last for 10 years. HAPPY BIRTHDAY."
atau seperti ini:
"..
Mon, you’ve been doing great!
you ARE my “warrior of ligth” kind of friend.
:)
Jalan terbentang di depan, dan nggak usah khawatir… pikirkan
saja pilihan antara membeli rumah, kuliah atau traveling. Haha .. Nggak perlu
pusing sama yang lain.
Jadi, semoga engkau bisa mengurai benang-benang ruwet di
kepalamu..
Setelah itu, indulge yourself with words – alphabets
like you always want..
Kemudian kau bisa bikin kitab suci baru backpackers dan kasih judul "lonely lonesome lovely planets". .. Hehe
Dan kau buktikan sendiri,
Kalau bumi memang bulet
Halelujah! Happy birthday, Mon!"
atau yang ini
"Estou desejar um feliz aniversário para minha melhor amiga e agradecer pela amizade que temos... adoro-te amiga querida... beijos grande :)"
4. Diselingi adegan kematian mertua bulikku. Memang, sang mertua sudah lama menderita diabetes dan sudah sangat parah. Tapi, itu seakan mengingatkan aku, ketika nyawa ini tercabut, kita sudah tidak bisa apa-apa. Dari kita yang bernafas menjadi tidak bernafas. Dari kita yang bergerak menjadi tidak bisa bergerak. Kita, yang awalnya ada di tengah-tengah keluarga kita, menjadi sendiri. Kita, suatu ketika, akan bisa menjadi seperti itu. Itu, semakin mengingatkan aku pada "kematian sebagai bagian dari hidup. Bukan lawan kata darinya..."
5. Selain ucapan dan doa-doa indah dari teman-teman tersayangku, ada juga kado dari Baltyra. Tulisan toilet dimuat. Waaaaahhhh...senangnya. That's the best birthday present.
Thursday, 5 November 2009
Pakdhe dan Aku
Jadi, aku mulai membaca tulisan Pakdhe. Bahasanya begitu sederhana. Tetapi penuh dengan makna yang sangat dalam. Tidak sampai semalam aku menyelesaikan buku itu. Pesennya juga sangat sederhana tetapi multiinterpretasi. Terserah, kita para pembaca memaknainya seperti apa. Interpretasiku, setiap orang pada dasarnya memiliki "mimpi". Hal-hal yang benar-benar kamu inginkan. Untuk mencari tahu, tujuanmu dikirim ke bumi itu untuk menjadi apa. Dan, tugas manusia adalah untuk mencari dan menemukannya tanpa rasa takut. Ketika kita ketakutan, kita tidak akan pernah bisa menemukannya. Di satu masa kelak, kita pasti akan menyesalinya.
Ketika kita sudah yakin dengan apa yang kita percaya dan inginkan, seluruh alam semesta akan bahu-membahu membantu kita. Ini masuk akal, ketika kita memiliki keinginan yang kuat, semua langkah kaki dan energi akan kita arahkan kesana.
Aku selalu, dan selalu membuka tulisan Pakdhe kalau sedang sedikit putus asa, dan membutuhkan kembali motivasi.
Selanjutnya, aku menjadi pembaca setia tulisan-tulisan Pakdhe. Ada The Valyries- yang merupakan pengalaman spiritual Pakdhe dan istrinya Cristina di Gurun Mojave untuk bertemu dengan "malaikat", ada The Zahir -yang merupakan pengalaman spiritual hidup berumah tangga. Sepertinya buku Pakdhe yang sangat dewasa. Mungkin, ini yang terbagus. The Zahir mengobrak-abrik banyak faktor spiritualitas hidup berumah tangga. Mengapa tiba-tiba seseorang ditinggalkan pasangan hidupnya secara mendadak. Si "Aku" akhirnya mencari sebab mengapa Ester meninggalkan dia. Dia mengobrak-abrik memori indah pernikahan dia hanya untuk menemukan bahwa mereka tetap saja saling mencintai seperti sebelum-sebelumnya.
Lebih jauh, aku berkenalan dengan Like the Flowing River dan Manual Book of Light. LFR, lebih banyak berisi cerita-cerita pendek. Esai-esai dia di berbagai media massa atau tulisan di blog dia. Kalau MBL terdiri dari quote-quote dia tentang hidup. Lebih pada perjalanan manusia untuk menemukan dirinya sendiri. Tidak jauh-jauh dari The Alchemist. Aku juga mengenal The Pilgrimage. Buku ini menceritakan pengalaman penulis untuk mencari "pedang" nya dengan melewati rute perjalanan kuno Road to Santiago. Disanalah, pakdhe banyak mengalami pengalaman-pengalaman berharga dalam hidupnya. Pengalaman ini mendasari dia menuliskan The Alchemist.
Pakdhe sendiri,adalah seseorang yang selama betahun-tahun berusaha mencari, menemukan dan menentukan personal legend dia. Sejak kecil, dia ingin menjadi penulis. Tetapi, oleh keluarganya, dia ditunjukkan bagaimana penulis itu. Di tahun 60-an, penulis identik dengan orang yang berkacamata tebal, berambut awut-awutan dan tidak rapi. Orang nerd lah. Akhirnya, selama bertahun-tahun selanjutnya, Pakdhe menjadi pencipta lagu. Dia melupakan mimpinya. Sampai ada suatu perubahan besar dalam hidupnya, dan dia mengingat kembali mimpi-mimpinya. Menjadi penulis.
Membaca buku-buku Pakdhe, aku seperti menemukan teman yang bijaksana dan tidak cerewet. Bisa menasehati tetapi tidak merasa pintar. Bisa menjadi penghibur tetapi tidak bermaksud menghibur. Bisa menjadi motivasi di saat-saat titik terendahku.
Aku merasa senang saja membaca tulisan-tulisan Pakdhe..... Pakdhe, terima kasih.
Wednesday, 4 November 2009
My Twenty Nine
Kata teman, usia hanya ada di atas kertas. Dia ada di akte kelahiran. Dia ada di raport-raport kita. Dia ada di ijazah-ijazah kita. Dia ada di CV-CV kita. Yeah, pokoknya, hal-hal yang berkaitan dengan administrasi. Bahkan, di internet, kita juga sering ditanya, berapa usianya. Lebih halusnya, ada form yang harus kita isi tentang tanggal/bulan/tahun lahir.
Administratif juga sih.
Setiap tahun, aku selalu membuat catatan tentang ulang tahunku. Tidak penting-penting amat sih. Begitu pula dengan ulang tahun kita. Tapi, dia semacam alarm bagi kita untuk mengingatkan diri kita, sudah berapa tahun kita diberi kesempatan untuk menghirup udara,
Eh, apa sih yang telah dilakukan? Dalam konteks ini, apa sih yang telah aku lalukan? Ah, ternyata tidak banyak. Kurang malah. Sering buat banyak orang kecewa, sedih, dan menangis. Orang tuaku, teman-temanku, atau bahkan orang-orang yang tidak pernah aku temui.
29 tahun ini. Aku sudah, paling tidak, aku sudah merasakan naik-turunnya hidup. Sangat bahagia. Bahagia. Sedih. Sangat sedih. Atau bahkan, datar. Merasa ramai. Merasa sepi. Atau, merasa sepi di tengah-tengah keramaian. Segala macam emosi berkecamuk.
29 tahun. Hidupku memang jauh dari sempurna. Atau mungkin, memang tidak pernah bisa menjadi sempurna. Karena hidup, tidak akan pernah bisa sempurna. Setiap detik, orang belajar. Aku belajar. Mengoreksi diri sendiri. Betapa ini salah. Itu salah. Betapa ini dan itu perlu diperbaiki.
Dalam satu titik, kita atau aku, merasa telah menemukan tujuan hidupku itu apa. Lalu, bagaimana aku berusaha untuk memenuhi semua itu. Merasa, bahwa itu adalah personal legend-ku. Tapi, ternyata, ada satu titik yang menunjukkan, kalau aku tidak seharusnya ada disana. Hidup kita, dan pencarian-pencarian kita memang tidak pernah selesai. Karena, aku percaya hidup adalah sebuah perjalanan. Ada saat-saat dimana, aku atau kita menemukan kompas, dan tahu kemana kita pergi. Ada kalanya (dan seringnya), aku atau kita kehilangan kompas itu. Perlu kembali mencarinya.
Twenty nine just twenty nine. I have to move my life forward. I have many things to do. My dreams and passions must be fullfilled. I remember what a man said to me once, long time ago. A guy that I hardly remember his name, "If you wanna take a chance, you have to change"
Twenty nine, I have to do what I believe. And, I know it!
Yeah, it just twenty nine! "Oh, the night is still young"
Monday, 2 November 2009
Ngopi Dulu Ahhh...
Perkenalanku dengan kopi sudah tidak bisa diingat lagi. Dulu, ketika masih kecil, Emak biasa membuat sendiri kopi. Mulai menyangrai sampai dengan mendeplok-nya. Nah, waktu menggoreng kopi ini unik. Yaitu ditaruh di wajan dari tanah (lempung) atau biasa disebut dengan kreweng. Kopi yang disangrai waktu itu, bukan dari kopi murni, tetapi telah dicampur dengan kelapa yang diiris kotak dadu. Dicampur dengan kopi waktu menggorengnya. Selain untuk mengurangi efek kafeinnya, juga untuk membuat gurihnya kopi. Sekarang, kebiasaan mencampur dengan kelapa ini sudah tidak dilakukan. Nyokap lebih suka kopi murni sekarang.
Dulu, kalau minum kopi, biar lebih gaya, minumnya pahit-pahit. Gulanya, gula Jawa yang ditaruh di lepek (saucer). Gula ini akan digigit sebelum minum kopi pahit. Manis dan pahit akan melumer jadi satu di mulut.
Ketika aku besar, dan mendapat kesempatan untuk kesana-kemari dibiayai kantor, perjalanan mencari kopi lokal tetap dilakukan. Sampai, aku disebut sebagai pencadu kopi. Saking parahnya kebiasaan minum kopinya. Sebenarnya, parah sih tidak. Hanya, suka saja mencicipi kopi di sana dan disini. Dan bertukar jenis kopi sama kawan disana dan disini. Yah begitulah.
Hubungan dengan kopi tidak selamanya baik. Kadang, sampai dibuat hampir pingsan, pusing berat, gemeteran sampai dengan diserang pada lambung. Tapi, kok yo tidak kapok-kapok juga minum kopinya. Tetap saja minum kopi kalau pagi. Minum teh hanya dilakukan pada saat tidak "memungkinkan" minum kopi. Misalnya, pada waktu kena serangan maag, atau badan lagi tidak fit. Kalau memungkinkan selalu saja minum kopi. Tidak banyak, hanya secangkir saja per hari. Itupun dibuat pada pagi hari, dibiarkan dingin dulu, dan diminum sampai dengan sore hari.
Entahlah, kopi sepertinya memang minuman yang sengaja Tuhan kirimkan ke bumi untuk para manusia.