Tuesday 10 February 2009

Ke Sunda Kelapa Lagi


Oktober 2008 yang lalu, aku ke Sunda Kelapa lagi. Kali ini membantu Happy memoto Intan dan Donny, untuk buat pre-wedding kedua mereka. Sunda Kelapa adalah destination tidak terjadwal, sebagai pengganti kekecewaan kami karena tidak jadi ke Pulau Seribu due to bad weather dan gelombang besar.

Pertama kali ke Sunda Kelapa, Agustus 2007. Waktu itu, ditemani si Ari. Nah, di tempat itu pulalah, dan di saat mengantar aku pula, dia bertemu dengan soulmate dia, Si Roslina.

Keadaan pelabuhan pertama pendaratan Cornelis de Houtman itu, masih saja mempertahankan pelabuhan klasik. Di pelabuhan ini, mangkal puluhan perahu dari kayu. Yang siap mengangkut bahan-bahan makanan ke luar Jawa seperti Lampung, Makassar, Ambon dan sebagainya. Puluhan kuli angkut kapal mengangkut barang di pudak mereka, melewati tangga dari kayu.

Senja masih saja turun dengan indah di pelabuhan ini.

Yang membedakan adalah, kalau tahun sebelumnya tidak ada perahu kecil yang sampai ke belakang-belakang parkiran kapal kayu, sekarang sudah ada. Parkir kapal-kapal kayu inilah yang kadang mem-blok cahaya sunset.

Dengan adanya perahu kecil ini, kita bisa menyusuri belakang perahu, dan kita bisa memotret sunset dengan puasnya. Akhirnya, adegan foto untuk pre-wed juga terjadi di Sunda Kelapa.

Betul, kami sungguh puas dengan lokasi, dan foto-foto yang kami ambil. Bisa menghilangkan kekecewaan kami karena tidak jadi ke Pulau Seribu.

Seadainya jadi, bisa-bisa aku menjadi kaku di kapal. Karena ketika siang kami ke Muara Angke, aku melihat wujud kapal nelayan yang akan mengangkut kita. Perahu nelayan, dari kayu, dan tidak seberapa besar. Pakai mesin biasa, ditingkahi bau amis ikan... Aku tidak membayngkan itu, selama 4 jam bergoyang-goyang di atas perahu. Padahal, ketika kami naik perahu di Ancol saja, rasanya, aku ingin segera turun dan faktanya aku sudah teriak-teriak sama tukang perahunya untuk seger menepi. Karena ombak yang besar....

Yang lucu dari kisah ini adalah: Happy, sudah membeli life vest karena dia trauma sama laut.

Monday 9 February 2009

It's Enough!

Meskipun di rumah seharian terasa sangat membosankan, tapi aku kemarin sempat mendapatkan"hikmah" dari kebosanan itu. Yaitu, membersihkan rak-rak sepatuku! Dan, tentu saja, sembari menghitung jumlahnya: 17 pasang. Beberapa pasang sudah aku kasihkan ke orang dan lainnya aku bawa pulang ke rumah. Tidak banyak sih, tapi aku jadi berpikir, buat apa sepatu sebanyak itu? Ada satu yang belum aku pakai: Stonefly yang aku beli di DC. Masih terbungkus rapi di dalam kardusnya.

Then, aku ke depan. Melihat tumpukan tas-tasku. Banyak sekali tas disana. Bukan tas bagus dan cantik sih. Tapi, justru traveling bag, tas laptop dan tas kamera. Tidak banyak jumlahnya sih. Tapi, melebihi kebutuhan.

Baru aku sadar, aku menjadi orang yang benar-benar tidak fungsional. Punya sesuatu melebihi kebutuhannya. Ooii...lihat juga tumpukan kaset DVD, CD, buku-buku dan majalah-majalah, sampai aku bingung menempatkan dalam kamar kosku yang sudah terbagi dalam tiga ruangan!

Then, I said to myself. It's enough! No more shoes...no more traveling bag (padahal ingin beli traveling bag-nya A). Mending uangnya aku kumpulkan untuk traveling...see the world. Semoga, apa yang aku ucapkan saat ini tidak sekedar janji palsu.... Yang nanti akan aku langgar sendiri, terkait dengan sifat impulsifku terhadap barang-barang yang telah disebutkan itu.

Not A Good Day

Today is not a good day. Bahkan matahari-pun sudah tidak muncul dari Sabtu kemarin. Mendung terus. Hujan malah. Matahari melek-merem. Jadinya, terasa sekali kalau itu terpengaruh ke mood. Belum lagi, masuk angin sejak Sabtu malam, paska dari Black Canyon Coffee di Ciputra. Kerokan, tentunya. Seharian kemarin hanya di rumah. Masih agak masuk angin. Berkutat dengan buku latihan TOEFL, Traveler's Tales sama buku hasil Monev DPRD. Benar-benar sanga membosankan. Tidak bisa keluar dari rumah. Bahkan hanya untuk beli terang bulan!

Hari ini, Senin, mood juga masih belum balik juga. Aku merasa ada yang aneh dengan mood-ku. Akhir-akhir ini tidak terlalu bagus. Aku merasakan kebosanan yang luar biasa.

Hari ini juga karena mood masih kacau dan udara yang tidak begitu enak, akuke kantor dengan baju yang "ngawur". Aku baru sadar kalau ngawur setelah turun dari taksi. Hari ini, aku memakai dalaman turtle neck, blazer, celana jeans, dan sepatu boot. Hmm...pasti sangat salah kaprah. Sangat aneh. Turun dari taksi aku jalan terseok-seok dengan sepatu boot tahun "gak enak" itu.

Yeah..pokoknya, hari ini aku agak saltum....dan baju ini akan aku pakai ke konser nanti malam. Who cares, then?

Friday 6 February 2009

Keterkejutan Budaya

Shock Culture atau keterkejutan budaya adalah hal alami yang orang yang baru saja mengalami perpindahan budaya.Bisa dari negara berkembang ke negara maju. Ataupun sebaliknya. Gegar budaya saya alami ketika menginjakkan kaki di negeri sebelah Batam. Saat itu, tiga jam kami mengantri di Custom. Dengan tas ransel 40 literku, dan satu tas kecil. Ratusan orang berjajar dengan tertib hanya untuk sebuah stempel, dan ucapan “Have A Nice Stay…”

Ketika tok petugas ditancapkan di atas paspor kami, senyum kami mengembang. Padahal, masuk angin dan kaki kram rasanya campur-campur. Segera, kami serasa terdampar di planet lain. Sebuah tempat bernama Harbour Front. Sumpah, kami tidak tahu bagaimana membeli tiket MRT. Kami tidak pernah ke negeri ini sebelumnya. Kami (Sophie, Nadia, Judith dan aku), hanya seperti alien yang baru saja mendarat di bumi. Seperti Kabayan yang datang ke Jakarta. Kami benar-benar linglung. Kami mungkin lost in translation kalau meminjam istilah film yang dibintangi oleh Bill Murray dan Scarlett Johansson.

Kami memandangi outlet-outlet mewah di terminal ferry ini. Kita harus kemana? Mengapa, satu jam naik ferry dari negeri seberang sudah menjadi sangat berbeda sekali? Baik bahasa, orang-orang, kebudayaan, dan lainnya. Padahal, hanya sebuah laut yang memisahkan. Negeri ini, terlihat dari seberang. Tak lebih dari sebuah noktah kecil berwarna hitam.

Kami bertemu dengan seorang bapak. Mengaku sebagai pelaut dari Jakarta, dan mengajari kami bagaimana membeli tiket di vending machine, dan menyimpannya karena akan digunakan untuk kita keluar lagi. Kami harus turun di Boogis MRT Stasion. Di Seiyu karena kami akan ke Rochord Road (bukan Orchad Road yang terkenal itu, Kawan).

Sekali lagi Kawan, kami mengalami shock culture ketika mendaratkan kaki di stasiun Boogis. Karena tiba-tiba saja kami terdampar di sebuah mall!!!! Yang dikenal dengan Seiyu Department Store. Pada akhirnya, kami menjadi tahu, kalau di negeri seberang itu, stasiun MRT pada umumnya gabung dengan mall atau pusat perbelanjaan. Karena kawan, di negeri sebelah ini sebenarnya adalah negeri Pasar Besar. Kawan bisa belanja. Tapi, kami hanya bisa berjalan-jalan, demi hebohnya jutaan dollar yang dibakar di Marina Bay. Sambil orang berteriak “Happy New Year 2007!” sambil melempar botol-botol bir, di tengah hiruk pikuk musik punk di Esplenade Park!

Sekali lagi, kami mengalami gegar budaya. Tidak pernah kami lihat kembang api sebesar itu! Hanya kembang api di Perak yang pernah kami lihat. Kecil-kecil dan monoton. Dan, Kawan, ketika kami melintas di depan Swiss Bell Hotel, kami mengalami gegar budaya untuk kesekian kalinya. Kami lihat Dede Yusuf, anggota DPR kala itu (sekarang wagub Jabar), sedang ber-old and new year di tengah terompet dan orang yang menyanyikan Auld Lang Syne.

Haunted Hotels

Kalau pergi ke kota kecil di Indonesia, selain berpetualang dengan kuliner kota setempat, pengalaman lainnya adalah merasakan tidur di hotel-hotel khas kota kecil. Hotel-hotel di kota kecil, biasanya memiliki ciri yang khas: pelayanan yang sangat kekeluargaan, dan fasilitas yang "sederhana" Selain itu, banyak diantaranya yang "berhantu" atau istilah kerennya spooky.

Aku pernah beberapa kali tidur di hotel spooky. Dan, kalau sudah begitu, pasti aku selalu mimpi yang aneh-aneh, ditindihin, dan kejadian-kejadian aneh lainnya. Meskipun, aku sudah menerapkan resep seorang teman. "Perkenalkan dirimu pada penghuni kamar itu. Kedatanganmu paling tidak kan menganggu dunia mereka. Kalau perlu, kamu sholatin deh..."

Resep itu sudah aku terapkan. Hasilnya, sama saja. Tetap saja aku ditindihin.

Misalnya ketika di Banyuwangi. Aku sengaja memilih lokasi hotel yang dekat dengan pantai. Alasanku sangat romantis. Jogging di pantai dulu pagi hari sebelum kerja. Meskipun aku sadar, kalau tempat itu ada di Ketapang, dan kalau ke kota masih dibutuhkan waktu 1 jam. Tidak masalah. Begitu banyak kendaraan umum dari Ketapang ke kota. Beberapa waktu sebelum aku masuk ke hotel, sopir travel yang membawa Bu Sis dan aku minum kopi dulu di depan pelabuhan. Ketika sopir berhenti untuk minum kopi, aku mencoba untuk tidur telentang. Eee...belum lima menit, aku sudah mimpi yang aneh-aneh. Anak-anak kecil masuk ke mobil semua. Bermain-main di dalamnya. Lompat kesana, lompat kesini. Main di kemudi, terus naik ke atap mobil. Mereka pada ingusan semua. Ibunya, bingung menyeka ingus-ingus itu.

Tak lama aku terbangun, dan sopir sudah kembali dari ngopi. Siap mengantar kami ke tujuan.

Begitu check in di hotel, aku tidak mendapatkan kamar seperti yang aku pesan by phone. Kamar penuh, dan terpaksa aku mendapatkan kamar lainnya. Baru sore harinya nanti (aku check in 03.30 pagi), aku bisa tidur di kamar yang aku pesan. Tidak masalah, kataku kepada petugas hotel. Lalu, dia mengantarku ke kamar.

Ketika saya hendak merebahkan tubuh, tiba-tiba lampu mati. Hanya kamar yang aku tempati. Tak lama nyala lagi. Pengalaman terburuk bukan di kamar ini. Tapi di kamar yang sudah aku pesan. Karena aku kecapaken seharian di lapangan, jam 6 sore aku sudah tidur. Kamar yang aku pesan itu memang spooky. Lampunya remang-remang, dan memang sudah ada hawa tidak enak. Tapi, aku cuek saja. Selama tidur, TV aku nyalakan. Tidurku nyenyak sekali. Jam 2 malam aku bangun karena tidurku terlalu awal. Aku sebenarnya sudah bertekad untuk tidak tidur lagi dengan membawa buku Romo Sindhunata. Tapi, ternyata masih mengantuk juga. Akhirnya aku tertidur juga. Nah, di phase yang ini, segera saja bayangan hitam besar menindihku, dan di alam mimpi, aku bertemu dengan seorang lelaki tua yang menyabit rumput. Setelah melihat ke arahku, lelaki berkulit hitam itu mengacung-acungkan sabit ke arahku. Dan, itulah yang membuatku terbangun dan bersumpah untuk segera check out esok harinya.

Pagi harinya, orang Bappeda tanya ke saya, apakah masih menginap di hotel itu. Aku bilang, sudah check out, Pak.
"Kenapa?" Lalu, aku ceritakan pengalaman 'spiritual' pada malam sebelumnya. Orang itu lalu tertawa, dan bercerita. Kalau di hotel itu dulu ada orang yang bunuh diri, dan ada kuburan di sebelah hotel itu. Dan, ya benar, aku melihat kuburan di samping hotel itu. Hmm...memang.

Pengalaman lainnya ketika ramai-ramai ke Sragen sama Mas Redhi, Pak Arifin dan Maman. Kami memesan kamar yang di paviliun, dan ada parkir sendiri. Kami diberi 4 kamar di belakang. Kamar baru, katanya. Dan, kami datang juga menjelang pagi. Jam 4-an. Empat kamar itu berjajar rapi. Kamarku yang paling ujung timur (depan), kamar Mas Redhi, Pak Arifin, lalu kamar Maman paling ujung di belakang.

Belum lima menit aku tidur, kembali bayangan hitam dan besar menindihku. Lalu, di kamar mandi aku dengan dua anak kecil sedang main air kecipak-kecipak, dan berterian-teriak. Khas anak kecil. Wawww... aku berusaha untuk bangun. Setelah bangun, aku bersumpah, kalau hal ini terjadi sekali lagi, aku akan pindah ke kamar salah satu lelaki itu. Untungnya, kejadian itu tidak terjadi lagi.

Pagi harinya, ketika kami berkumpul, orang-orang juga mengalami hal yang sama, kecuali Maman! Mas Redhi, digoyang kasurnya, dan diusir untuk check out. Dia juga bermimpi kalau di kamarnya ada bayangan hitam melayang-layang. Pak Arifin beda lagi. Dia mimpi, ada ular besar masuk ke kamarnya. Warnanya hijau. Menyeramkan sekali. Kenapa hanya Maman yang tidak ya??? Hehehe.. Aku tidak ada ide.

Kata Yanto, sopir mobil rental kami,kamar-kamar itu memang ada penunggunya. Ibu dan dua orang anaknya. Haaaaaa...tambah serem saja. Untungnya, sore harinya, Wanna, rekan dari Jakarta datang. Dan, aku ada teman sekamar. Karena Wanna juga takut tidur sendiri setelah aku cerita.

Tentunya Mates, masih banyak lagi kejadian-kejadian aneh di hotel-hotel kota kecil. Tapi, note ini tidak akan cukup untuk menampung semuanya.

Thursday 5 February 2009

Travel to Malang

Gusti menyebutnya sebagai "her greates achievement" karena mampu menyetir sendiri Surabaya-Malang. Apalagi dengan membawa Reiko serta bersama kami.

Pergi ke Malang, tanpa direncanakan. Kami hanya berkoordinasi hari Kamis ketika kamu hujan-hujan minum es krim di Zangrandi dan makan kacang rebus. Kemudian aku telepon Anggun. Setelah kepindahannya ke Malang, dia sempat mengundang aku untuk datang ke rumahnya, dan aku sempat beberapa kali berjanji akan ke rumah dia. Kita sudah merencanakan diri, akan naik sepeda ke Batu. Minggu itu, dia available!

Siippp...

Jam 07.30 kita berangkat dari Surabaya setelah sarapan ayam goreng ala Lik Mun. Tujuan kami ke Malang: beli onde-onde di HTS, makan di Toko Oen dan Bakmi di Jalan Dempo. Perjalanan lancar sekali. Reiko tidur sepanjang jalan. Bagun selepas tol, lalu dia sarapan roti sama keju.

09.30, kami sudah sampai di Depan Terminal Arjosari. Anggun janji jemput kami
disana. Lima menit menunggu, dia belum muncul juga. HPnya aku telpon tidak diangkat. Aihh..pasti dia sudah ada di jalan. Ketika kami di Lawang, aku sudah SMS dia.

"Kamu ada nomor telpon rumahnya, Lin?"tanyaku sama Gusti.
"Gak ada. Tanya Mojo saja.."
"Ah, malas. Ada di HPku yang satunya di tas" Aku paling malas kontak Mojo, teman kuliah kami yang selalu bikin BT orang kalau diajak ngomong.

Akhirnya aku ambil HP yang aku taruh di tas yang ada di bagasi. Aku cari nomor telepon rumah Anggun. Langsung saja aku telepon.
"Nggun, kita sudah di depan Arjosari!" kataku langsung.
"Anggun sudah berangkat!" kata suara di seberang.
"Ini siapa?" tanyaku agak curiga.
"MO..."klik. Telepon langsung aku putus.
"Lin. Mojo yang angkat telepon..." Lina langsung ngakak.
"Hahahaha...maunya dihindari. Eee..ngapain dia di rumah Anggun?"
"Ah, mana aku tahu...."

Lima menit kemudian si Anggun muncul. Di boncengannya ada Eko Maskot. Lho, tambah satu orang lagi. Kita tidak menyangka, kalau di rumah Anggun kita reunian.

Benar, sesampainya di rumah Anggun, telah ada Kobo dan Mojo. Mereka sedang merokok dan nonton TV. Anggun baru selesai masak ca kangkung, goreng tempe, telur dan tahu. Bahunya mengundang selera makan. Sayangnya, kita masih kenyang. Reiko saja yang memakan bonthotan dari rumah. Nasi goreng ala Lik Mun juga.

Dia berinisiatif ambil makanan dari tas. Dengan bangga dia membawa kotak nasi kepada kami. Eee..setelah sama si Gusti di-cek, Reiko-Chan mengambil nasi dari tas dengan menumpahkan nasi goreng....Bulir-bulir nasi bertebaran di lantai. Dia meringis sambil tertawa, lalu memkan nasinya.

Setelah semua berkumpul, mandi dan sarapan; kami menuju spot kedua. Toko Oen. Karena sebelumnya kami sudah mampir di Toko Onde-Onde HTS. Kami pergi dengan dua kendaraan. Gusti setir mobilnya. Di dalamnya ada Gusti, Anggun, Reiko dan aku. Di mobil satunya yang disetiri Mojo, ada dia, Eko dan Kobo.

Bertujuh kami minum es krim di toko yang telah ada sejak 1930. Seperti tiga tahun yang lalu ketika aku kesana sama Nadia dan Sophie. Suasana tetap sama. Tulisan Welkom in Malang. Dan tulisan dalam Bahasa Belanja kalau diterjemahkan artinya begini "Untuk Kepuasan Anda". Kursi tetap barang yang sama. Dari penthil, dan dengan meja bundarnya. Juga dengan pelayan yang sama. Bapak-bapak usia 50-an tahun, agak gemuk, berwajah ramah dan menggunakan peci. Baju seragamnya berwarna putih.

Menu tetap ditulis dengan tiga bahasa: Indonesia, Inggris dan Belanda. Di pojok, seorang pemain piano asyik memainkan lagu-lagu era 70-an. Beberapa pengunjung bule tampak disana. Rupanya mereka bermemorabilia. Usia mereka rata-rata diatas 60 tahun. Konon, toko ini tetap mempertahankan resep lama. Dengan menggunaka susu sapi asli dan telur ayam kampung. Resep yang tidak berubah selama 3 generasi.

Mojo makan es krim layaknya tentara yang makan jatah ransum. Tidak ada 3 menit. Karena itu, kami juga tidak enak.

Setelah dari sana, Anggun mengajak kami ke pemancingan di Lembah Dieng. Kami menyusuri jalan-jalan dekat Universitas Merdeka yang mendadak menjadi sepi. Dulu, jalan ini ramai sekali. Kata si Anggun, ini karena dampak komersialisasi Universitas Brawijaya sebagai Uni Negeri.
"Orang lebih memilih masuk ekstensi UB daripada masuk sekolah swasta" kata dosen HI UB ini. "Dan, kalian lihat, dampaknya tidak hanya sekolah. Tapi juga pada masyarakat sekitar" Dia kemudian menceritakan, kalau dulu kawasan ini ramai oleh rumah kos dan usaha fotokopi. Sekarang, memang telah menjadi sepi. "Sudah jarang kos-kosan sama fotokopi. Bergeser kembali di tengah kota"

Di Lembah Dieng, danaunya menjadi kotor sekali. Penuh dengan pemancing. Yang, Maaf, nampaknya mereka adalah orang-orang yang menjadikan memancing sebagai "okupasi" Tidak ada pekerjaan lainnya selain memancing.

Kami tidak lama disana. Karena merasa kurang nyaman. Segera kami makan Bakmi Dempo.

Waaaa.....bakminya enak sekali. Bertempat di depan SMAK Dempo. Karenanya, namanya dikenal sebagai Bakmi Dempo. Antriannya panjang sekali. Kami tidak mendapatkan tempat duduk. Satu porsi Rp. 7.000,00. Lalu, kami makan dengan nikmat.

Jam 16.00, setelah Reiko-chan dan aku mandi, kami memutuskan untuk kembali ke Surabaya. Takut macet di Porong kalau kami balik terlalu malam. Mendung tebal sekali.. Begitu kami mulai keluar dari Kota Malang, hujan turun dengan deras sekali.