Tuesday 15 September 2009

Berbuka di Festival Kabuenga


Aku beruntung sekali, waktu ke Wakatobi pertama kali bertepatan dengan Festival Kabuenga. Yaitu, festival tahunan yang biasanya diselenggarakan di Wakatobi. Festival tahun ini digelar sebagai rangkaian dari Indonesia Sail 2009. Jadi, para peserta Indonesia Sail setelah dari Manado dengan Bunaken Sail, langsung menuju Wakatobi. Tokh, Wakatobi dan Manado sama-sama daerah yang merupakan bagian dari the world coral triangle alias pusat segitiga karang dunia. Di dunia ini, ada 6 negara yang termasuk jajaran itu. Yaitu Thailand, Malaysia, Philiphina, Indonesia, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Di Indonesia, tempat itu berjajar dari Bunaken-Manado, Wakatobi, Bali, dan Lombok. Wakatobi mengklaim dirinya berada di jantungnya coral triangle di dunia.

Festival Kabuenga dulunya adalah upacara adat yang dilakukan oleh orang di Wakatobi untuk mencari jodoh. Para lelaki yang menjadi pelaut, dan para perempuan yang ada di rumah saja. Dalam moment ini, lelaki dan perempuan dipertemukan.

Ada beberapa macam prosesi Kabuenga. Misalnya saja, ada ayunan, para perempuan berjualan makanan, tari-tarian yang melambangkan pernikahan dan tradisi pingitan, dan sebagainya. Dari ajang para gadis berjualan ini, lelaki akan datang membeli dagangannya, dan berharap akan terjadi hubungan yang lebih serius.

Nah, dalam Festival Kabuenga 2009 ini, para gadis memang duduk di lapangan Merdeka dengan makanan-makanan tradisional di depan mereka. Berbagai hidangan tradisional ada di hadapan mereka. Seperti masakan dari ikan, kasuami dan kasuami pepe, nasi bambu, lepat, dan sebagainya. Tapi, sepertinya ini tidak dijual. Baru kemudian saya tahu, kalau masakan-masakan ini dimakan pada saat buka puasa bersama.

Bupati Wakatobi, Hugua dan istrinya Ratna Dewi, sebagai simbol pernikahan, diayun oleh dua orang gadis cantik.

Ketika Maghrib dikumandangkan dengan bunyi sirene, buka puasa boleh dilakukan. Orang-orang yang melihat festival ini, diperkenankan untuk mengambil makanan-makanan dari talam itu. Gratis. Kemudian, orang-orang ramai minum ronso (es degan dengan jahe), dan mengambil makanan besar untuk berbuka.

Enaknya, berbuka di Festival Kabuenga. What a precious experience!

Tuesday 1 September 2009

Wakatobi!


Wakatobi merupakan singkatan dari nama empat pulau besar di wilayah yang dulunya menjadi bagian dari kesultanan (sebelum merdeka) dan Kabupaten Buton ini. Keempat pulau besar itu adalah Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Bersusun dari dalam sampai keluar. Binongko adalah wilayah terluar.

Wilayah ini mekar pada tahun 2004. Hugua adalah bupati pertama di wilayah kepulauan ini. Sebab, kabupaten ini memiliki 142 pulau, dan hanya 7 yang berpenghuni. Kalau dilihat dari persentasenya, 97 persen berupa lautan dan wilayah daratnya hanya 3 persen.

Tempat ini merupakan salah satu pusat segitiga karang dunia. Wilayah ini terbentang dari Philiphina, Malaysia, Indonesia (Bunaken, Wakatobi, Bali, Lombok), Timor Leste, Papua Nugini sampai dengan Kepulauan Solomon. Dari hasil Operational Wallacea (Opwal), dari 850 jenis karang di dunia, 750 jenis ada di kabupaten ini. Tidak mengherankan, sebab lautan disini merupakan pertemuan dari Laut Banda dan Laut Flores.

Untuk mencapai wilayah ini, sekarang ada dua macam alternatif. Lewat laut atauoun lewat udara. Kalau mau lewat laut bisa dari Kota Bau-Bau di Kepulauan Buton dan naik kapal cepat selama 4 jam (kalau ombak sedang bagus) atau naik kapal kayu selama 12 jam (kalau ombak sedang bagus juga). Atau bisa naik Susi Air dari Kendari. Telah ada satu bandara kecil bernama Matahora. Pembangunan memang masih dilaksanakan disana dan disini. Ijin operasional bandara ini juga belum ada. Sehingga pesawat komersil belum bisa mendaratkan di kabupaten ini. Jadi, statusnya hanya charter. Pemda dalam satu tahunnya men-charter dari Susi Ari senilai Rp. 1,2 milyar. Jadi, di dalam tiket yang ada tulisannya Pemerintah Daerah Wakatobi. Kalaupun nanti ada pesawat komersil, yang bisa mendarat pesawat-pesawat yang berpenumpang 30 orang milik Express Air.

Kemarin, ketika sempat ketemu dengan bupati Hugua di bandara. Dia mengatakan, kalau September ini ijin operasional sudah turun.

Pergi ke Wakatobi tidak lengkap kalau tidak diving atau snorkeling. Sayangnya, aku tidak bisa diving, hehehe. Renang saja tidak bisa, hehe. Kalau mau diving, sebenarnya di empat pulau itu ada semua spot-spotnya. Tapi, yang terkenal itu di Hoga Island (dekat Kaledupa) yang dikelola oleh Opwal. Atau ada di Tomia. Konon, di Tomia kita bisa melihat penyu bertelur. Kalau di Wakatobi, yang namanya air laut itu bisa hijau dan biru. Pasirnya juga putih sekali. Yang ada di foto itu Hugua Beach (well...) yang ada di desa Waetuna. Di dekat pantai ini, ada dua kelompok karang. Kalau sedang surut, kita bisa berjalan di atas lamun (semacam rumput laut) untuk pergi ke karang ini.

Ada pantai yang antik dan bisa disebut sebagai kolam renang. Yaitu pantai yang ada di Dusun Sousu, Desa Matahora, Wangi-Wangi Selatan. Setelah pantai ada air lautnya. Tetapi, sekitar duapuluh meter setelah garis pantai, ada satu garis putih, yang ternyata itu adalah pasir putih. Jadi, di dalam laut masih ada pasir putihnya lagi.

Makanya, next project, aku harus belajar diving nih. Karena di tahun-tahun mendatang, aku akan suka sekali kalau pergi ke Wakatobi.

Meskipun dalam hal infrastruktur belum bisa dikatakan belum 100 persen sempurna, telah ada berbagai upaya untuk pembenahan. Misalnya saja pembangunan bandara, jalan yang menghungkan bandara dengan pusat kota di Wanci, dan sebagainya. Masalah air bersih (tawar) memang masih menjadi masalah di kabupaten kepulauan. Paling banter, air yang dihasilkan payau. Hanya beberapa tempat yang mampu menghasilkan air tawar.

Naik Apa Ya ke Wakatobi?


Ketika pertama kali mendapatkan tawaran untuk mengerjakan proyek di Wakatobi, saya langsung excited. Berkali-kali aku mendengarkan nama itu, tetapi tidak pernah tahu tempat itu ada dimana. Pokoknya, kalau mendengarkan nama Wakatobi, yang ada dalam benakku hanya nama Nadine Chandawinata, mantan Puteri Indonesia 2005.

Seperti biasanya, kalau bingung dengan satu hal, yang aku lakukan adalah menanyakannya kepada Mbah Google. Ada berbagai macam informasi disana, termasuk betapa indahnya pemandangan bawah laut kawasan ini yang termasuk dalam the world coral triangle.

Lalu, bagaimana kesananya? Nah, ini yang bikin aku sangat bingung. Dari hasil pencarian, kesana hanya bisa ditempuh dengan menggunakan KAPAL LAUT! Seketika aku langsung panas-dingin dan berdebar-debar. Anda pasti tahu kenapa, aku tidak bisa renang! Sementara kesana harus berjam-jam naik kapal laut. Bisa 11 jam dari Bau-Bau, itupun kalau ombak sedang bagus-bagusnya. Tetapi, bulan-bulan begini, adalah bulan bertiupnya angin Timur. Ombak di Laut Banda tidak ada duanya. Bisa 7 meter tingginya. Alamak, aku langsung menggigil. Dan, sudah siap-siap untuk membeli life vest alias jaket pelampung.

Lalu, datanglah berita bagus itu. Dari Pak Rus, PO CD Project Sulawesi Tenggara yang ada di Kendari. Kalau sekarang ke Wakatobi sudah ada alternatif lainnya. Yaitu dengan naik pesawat charter milik Susi Air.Dengan menggunakan Cesna 280 janis Grand Caravan, pesawat charteran milik Susi Pudjiastuti, pengusaha ikan asal Pantai Pangandaran ini. Pesawat ini dikenal dengan nama lain pesawat DC 12 alias pesawat diisi 12. Karena memang berisikan 12 orang penumpang. Para pilotnya mas-mas bule cakep. Ada yang berasal dari Italia.

Menaiki pesawat jenis ini, tidak ada peragaan mengenakan bagaimana mengenakan sabuk pengaman dan alat pelampung. Si Mas hanya bilang dalam bahasa Indonesia sengaunya, "dalam kondisi darurat, alat pelampung ada di bawah tempat duduk Anda"

Dan, kedua mas ini akan menyetir pesawat berbaling-baling ini dengan santainya. Kadang dia mengunyah kacang rebus yang dia masukkan ke dalam botol Aqua. Kadang mereka sambil potret ke kiri dan ke kanan.

Dari Kendari, penerbangan hanya membutuhkan waktu 40 menit. Kita kemudian bisa mendarat di Bandara Matahora, Pulau Wangi-Wangi. Bandara ini masih dalam proses pembangunan.