Friday 30 October 2009

"Aku Suka Tulisan-Tulisan Sampah Ini"

Yeah, I do like writing.

Aku tidak tahu, sejak kapan aku suka menulis. Sejak SD, mungkin. Aku suka saja coret-coret di buku tulis. Entah itu puisi, atau cerita-cerita pendek. Ketika SMP, aku juga suka nulis cerita-cerita pendek di buku tulis atau di potongan-potongan kertas kecil. Teman satu bangkuku, Nur, selalu saja menjadi pembaca cerita-cerita pendekku. Waktu SMA juga masih menulis. Bahkan, satu tulisan dimuat dalam majalah sekolah yang hanya terbit satu kali itu. Judulnya waktu itu, Sepatu Kaca.

Waktu kuliah, sudah jarang menuliskan cerpen. Yang ditulis catatan harian. Selama kuliah, aku ada beberapa catatan harian. Isinya ya curhat, ya pemikiran, ya hasil kontemplasi. Baru-baru di akhir masa-masa kuliah mulai menulis kembali cerpen. Bahkan mulai mengembangkan ide untuk menulis novel! Wuuu...sampai sekarang, 5 thaun kemudian, novel itu tidak jadi-jadi, hehehe. Ngendon saja di komputer kantor. Catatan harian juga masih nulis, tetapi saat ini lebih banyak dengan update blog. Kadang note di facebook.

Aku kemudian menjadi terjebak dengan tulisan-tulisan serius. Tentang good governance, tentang local initatives, tentang regulasi, etc..etc. Tulisan-tulisan yang sangat high politics dan sangat erat dengan kebijakan pemerintah. Aku tidak terlalu menyukainya. Jujur saja. Hanya satu yang aku sukai, tentang local initiatives. Karena aku selalu saja terinspirasi dengan tokoh-tokoh yang aku temui di jalan. Seperti misalnya Inaq Rum, Pram, etc..etc.

Jauh di dalam lubuk hatiku, aku kurang suka dengan tulisan-tulisan serius ini. Bukan diriku dehhh.... Aku tidak bisa ngocol. Seorang teman berseru, "Enak dong menulis di kolom..." si teman membayangkan aku menulis di sebuah kolom kontemplasi yang bisa dibuat humor-humor macam Umar Kayyam itu. Setelah aku bilang, kolom apa, dia hanya ngakak jaya. Ampun deh....

Ya ampun deh, ini pengakuan sebenarnya. After years, I have been trying to love writings those serious articles. But I can't. It's not meeeeee.... I know myself well. Writing is my life. Writing could bring joy in me. Till I'm old, I'll keep on writing...

Note: Jadi tertarik untuk belajar Creative Writing.

Thursday 29 October 2009

If LIfe is A Journey

Aku percaya benar, kalau hidup itu sebagai sebuah perjalanan.

Aku tidak tahu harus memulai darimana. Berbagai kejadian akhir-akhir ini seakan menuntunku untuk membuat sebuah keputusan berani. Aku memang telah membuat keputusan itu. Oh no, bukan karena sebuah krisis ini aku menjadi orang yang sangat frustasi. Sebaliknya, aku sekarang telah menjadi orang yang benar-benar tahu apa yang aku mau. Aku memang harus berubah. Senyampang aku masih diberi kesempatan untuk membuat perubahan. Dan, aku mampu untuk melakukannya. Aku sudah benar-benar tahu apa yang aku mau.

Kalau hal ini ditanyakan kepadaku 5 atau 6 bulan lalu. Aku pasti tidak bisa menjawabnya. Aku masih keukeuh berpegang dengan Plan A hidupku. Plan A yang gagal terwujud saat itu. Aku memang kecewa dengan tidak berjalannya si Plan A itu. Tapi, tidak apa-apa, mungkin itu bukan jalan terbaik buatku. Jalan yang semakin membuat aku jauh dari Personal Legend-ku.

Tiba-tiba saja tadi pagi, aku ingat orang-orang yang menjalani perjalanan-perjalanan pribadi. Atau kita sebut saja dengan perjalanan-perjalanan ritual. Misalnya saja Paulo Coelho. Dia "disarankan" menelusuri jejak pilgrim rute Medieval yang dikenal dengan nama Road to Santiago. Selama perjalanan ini, dia mengalami banyak perjalanan spiritual. Hasil road to Santiago ini dia kisahkan dalam The Pilgrimage dan The Alchemist.

Terus kemudian, yang baru-baru ini aku kenal adalah Elizabeth Gilbert. Lewat bukunya Eat Love Pray, dia pergi ke Italy, India dan Indonesia untuk perjalanan spiritual dia. Dia melakukan ini semua karena hidupnya sedang dalam krisis yang amat sangat. Dia sangat depresi dengan perceraian dia dan permasalahan dengan pacar dia bernama, David.

Banyak orang yang menemukan dirinya setelah terdera krisis. Dengan krisis, orang mau tidak mau harus berubah. Karena zona nyaman nya telah diporak porandakan oleh banyak hal. Atau, orang yang telah berpikir zona nyamannya kini tidak lagi nyaman, dan memang saatnya untuk membuat perubahan.

Aku, kini tidak lagi takut akan sebuah perubahan. Berubah aku membuatku tetap hidup. Karena perjalanan pada dasarnya adalah perubahan.

Wednesday 28 October 2009

Jadi, Berapa Kenalan Anda?

Beberapa hari yang lalu, sempat melihat video dokumenter yang menarik di National Geographic Channel. Topiknya tentang apa, aku lupa. Mungkin tentang kehidupan manusia ya? Nah, ada sebuah hasil survey NG yang sangat menarik. Tentang rata-rata kenalan (baik) seorang anak manusia selama dia hidup. Yaitu 1.700 orang.

Aku sendiri tidak tahu berapa kenalanku. Pernah pada satu ketika, aku mencoba menghitung berapa jumlah kenalanku, dan bagaimana aku bertemu atau berkenalan dengan mereka. Menginjak orang beberapa puluh saja, aku sudah pusingg. Apalagi sampai sejarah perkenalan dengan orang itu, dan bagaimana kita selalu menjaga komunikasi. Artinya, kita saling meng-upate kisah masing-masing.

Ah, susah kan? Ya memang susah. Lebih baik, tidak usah menghitung berapa jumlah orang yang kita kenal selama hidup. Bagaimana kalau dia presiden? Bagaimana kalau dia menteri? Bagaimana kalau dia dosen atau guru? Bagaimana kalau dia adalah travel guide? Bagaimana kalau dia adalah seorang wartawan? Bagaimana kalau dia adalah seorang pedagang? Tentu saja, setiap orang punya kisah yang menarik dengan kenalan-kenalan itu. Dengan para kenalan-kenalan ini, kita bisa berteman.


Tuesday 27 October 2009

Do You Like Shopping????

"Nooo...Noo...Nooo.. I don't like shopping!"

Yeah, teman, aku memang bukan orang yang hobby shopping atau sophaholic. Tetapi lebih pada orang yang membeli barang karena butuh. Kalau aku seorang sophaholic maka barang-barang seperti baju adalah yang sedang tren. I have none. Meski bukan seorang sophaholic, aku adalah seorang pembeli yang kompulsif. Kalau sudah suka sama barang itu, harus beli yang itu. Kalau tidak dibeli, malah membuang-buang uang. Misalnya begini, pada satu ketika aku ingin beli sepatu. Tetapi, karena harga sepatu yang bersangkutan mahal, aku putuskan untuk membeli lainnya yang lebih murah. Nah, ketika di rumah, masih saja terbayang-bayang sepatu yang ingin aku beli, dan bagaimana enaknya ketika mencoba sepatu itu. Ya kulitnya yang lembut. Ya bagaimana sepatu itu memperlakukan kaki kita dengan nyaman. Besok atau lusanya, aku pasti kembali kesana, dan membeli lagi barang itu. Nah, buang-buang uang kan? Makanya, daripada buang-buang uang, lebih baik kalau ingin dan pas ada uang dibeli saja barang itu.

Sangking kompulsifnya diriku, pernah ditarik oleh seorang teman dari sebuah toko. Diajak keluar toko biar bisa berpikir rasional. Tetapi, aku tetap saja lari dan masuk ke toko. Bahkan, aku tetap saja membeli sepotong sweater meskipun HP ku hilang di toko itu beberapa hari kemudian. Karena, setiap malam, aku terbayang-bayang sweater itu.

Ah, kenapa harus membahas masalah kompulsif belanja ya? Atau lebih tepatnya, kenapa pada umumnya perempuan lebih suka belanja dibandingkan dengan lelaki? Banyak temanku, kalau sedang pusing atau banyak masalah, pasti larinya belanja. Dia menjadi puas setelah belanja.

Nah..nah, gara-gara ada perempuan inilah dunia menjadi sangat ramai. Ada yang suka belanja. Seperti sudah given, kalau perempuan itu suka belanja. Terlebih kalau sudah bete. Beda dengan lelaki kali... Mereka, kalau bete, hiburannya hanya seks seks dan seks. That's on top of their minds. ementara, perempuan lebih menganggap seks tidak sebagai barang utama. Mereka banyak disibukkan oleh hal-hal kecil. Mulai masalah kerjaan (kalau dia bekerja), urusana sekolah anak-anak, jajan anak-anak, pekerjaan rumah, dan banyak hal-hal lainnya. Karena itu, otak perempuan terbagi dalam banyak hal. Dia bisa melakukan pekerjaan banyak dalam waktu bersamaan, atau istilahnya mutlitask. Dia bisa memasak, sambil mencuci pakaian, dan sebagainya. Atau bahkan, dia bisa mengetik SMS sambil berbicara dengan temannya... Haha. Tidak nyambung ya?

Monday 26 October 2009

Kampung di Seberang Sungai

Aku lahir di sebuah kampung kecil di Tulungagung yang bernama Kalituri. Ada sebuah sungai kecil yang memisahkan kampungku dengan Kampung Kedungsoko. Sungai yang tidak bernama. Hanya kita tahu, sungai itu bermuara di Laut Selatan setelah melewati Terowongan Niama. Sebuah terowongan yang dibangun pada jaman penjajahan Jepang, dan dibangun kembali pada sekitar tahun 1980-an. Ketika dibangun ulang ini, dilakukan juga pengalihan aliran sungai. Dari dulunya bermuara di Laut Jawa, menuju ke Laut Selatan atau Samudera Hindia (Indonesia). Ketika masih bermuara di Laut Jawa, kampungku banjir sepanjang tahun. Air tidak mau mengalir. Laut Jawa sudah terlalu penuh dan jenuh dengan air.

Nah, kembali ke kampung seberang sungai itu. Kampungku dan kampung seberang sungai itu, dulunya dihubungkan dengan sebuah jembatan bambu kecil di depan rumahku. Atau perahu kecil yang terbuat dari tumpukan drum (tong). Jembatan bambu ini tidak bertahan lama, dan diganti dengan jembatan dari besi yang dicat warna merah. Jembatan yang baru itu, agak jauh dari rumahku.

Dari pinggir sungai, tampak rumah-rumah di kampung seberang itu kecil-kecil sekali. Hanya nampak samar-samar saja. Yang paling jelas itu, rumah dari Pak Lurah Siis. Karena rumah itu paling besar. Bahkan balai kelurahan, dan sekolah yang terletak di sebelahnya juga tampak kecil. Tidak kelihatan tulisan-tulisan yang ada di kampung seberang sungai. Hubungan orang-orang di kampungku dan kampung seberang sungai itu jarang dilaksanakan. Orang-orang kampungku, menganggap kampung seberang sungai orang-orangnya lebih egois, karena memang secara administratif masuk ke dalam wilayah Kecamatan Kota (Tulungagung). Ini bisa dilihat, apalagi ada orang meninggal dunia. Yang melayat sedikit sekali. Beda dengan kampungku,yang sampai antri dan melimpah ke jalanan.

Dengan bergulirnya waktu, kampung di seberang sungai itu, tidak lagi tampak kecil. Tidak perlu pergi ke pinggir sungai, dari teras rumah ibuku saja, sudah bisa melihat apa yang dilakukan oleh orang-orang yang di kampung seberang sungai itu. Tulisan SDN Kedungsoko I, Balai Kelurahan ataupun kantor Babinsa tampak dengan jelas. Kampungku dan kampung seberang sungai, tidak lagi berbatas. Tipis sekali.

Kenapa bisa tampak lebih dekat? Atau memang dari dulu sebenarnya suhda dekat? Hanya dulu, aku melihat dari kacamata seorang anak-anak. Atau, memang dunia sudah benar-benar menyempit (shrinking). Seperti globalisasi yang telah menjadikan dunia sempit dan mengkerut dalam sebuah frame. Ketika kita connect dengan internet, dunia kita menjadi tanpa batas. Hanya dengan mengetik www. Oh, betapa ampunya tiga huruf ini.