Monday 31 August 2009

Kendari!


Sebelum kita ke Wakatobi, harus transit semalam di Kendari karena pesawat Susi Air ke Wakatobi hanya terbang pada jam-jam tertentu. Yaitu pada tiap hari jam 8.30 WITA. Hanya saja, pada hari Selasa dan Kamis, baru terbang pada pukul 16.00 WITA.

Ketika kita mendekati bandara Wolter Monginsidi Kendari, yang nampak hanya perbukitan dengan hutan yang lebat. Menurut Pak Ruslan, contact person di Kendari, bukit itu tidak bernama. Biasanya, orang Kendari kalau memberikan nama pada sebuah tempat, pasti ada peristiwa tertentu. Pemberian nama akan mengingatkan orang pada satu kejadian.

Bandara Monginsidi (seperti gambar atas), tampak baru. Bahkan belum selesai 100 persen. Landasan pesawat juga nampak baru. Bandara ini berada di Kabupaten Konawe Selatan, tetapi merupakan lahan Angkatan Laut. Mirip Juanda pada jaman dulu-lah. Pendapatannya, dibagi antara ketiga belah pihak: pengelola bandara, AL dan pemda Konawe Selatan.

Kota Kendari merupakan ibukota Sulawesi Tenggara. Namun, tidak mirip dengan ibukota propinsi. Berbeda jauh dengan Makassar yang merupakan ibukota Sulawesi Selatan. Suasana Kendari seperti kota kecil di Jawa Timur. Seperti Tulungagung.

Untuk menuju tengah kota saja, butuh waktu 30 menit dengan naik taksi. Jalan berkelok-kelok. Kiri kanan jalan masih banyak lahan kosong. Sepi sekali. Taksi sebenarnya juga tidak melaju dengan cepat. Santai saja. Tujuan kita Hotel Imperial, di Jalan Ahmad Yani.

Di Kendari ini, agak susah untuk menemukan tempat makanan yang "maknyus" Beda jauh dengan Makassar yang kaya dengan makanan yang enak-enak. Kita tinggal pilih saja. Mau ikan bakar, mau mie titi, ingin sarrabba, ingin songkolo, ingin ngopi di Phoenam, ingin cotto, ingin sop konro, ingin sop bersaudara, atau jenis makanan yang lainnya. Semuanya tersedia. Anda tinggal pilih. Kalau Anda tidak memiliki pantangan makanan, bisa saja mencoba semuanya.

Jujur, di Kendari belum ketemu tempat makan dengan masakan mak nyus. Yang agak lumayan adalah RM Aroma yang terletak di samping Hotel Plaza Inn. Rumah makan ini menyediakan masakan khas Suku Tolaki, suku asli Kendari. Lumayan juga. Ada ayam yang dimasak asam dengan kendondong (duh, lupa namanya) dan ada juga ikan palumara (tidak beda jauh dengan asam-asam bandeng di Jawa Timur). Disediakan juga sononggi (berupa bubur sagu). Orang Tolaki, biasanya makan bubur sagu dengan kuah ikan, dan juga sayur bayam.

Terkait dengan places of interest, agak bingung juga. Sepertinya, baru menemukan Kendari Beach. Itupun kalau malam gelap minta ampun. Tidak ada apa-apa. Orang disana juga tidak seramai di Pantai Losari, Makassar. Rumah makan terapung di pinggir pantai juga bukan pilihan yang baik untuk makan. Bersama dengan seorang teman pernah mencoba pesen minuman disana. Saya pesan juice jeruk, dan ternyata oh ternyata saya dikasih air nutrisari. Sedangkan teman saya memesan kopi. Sayangnya, kopi tidak disajikan dalam cangkir atau minimal gelas biasa. Akan tetapi disajikan dalam gelas sirup berkaki! Baru setelah kami menikmati minum yang "menyedihkan" itu, kami justru mendapatkan kalau di sepanjang pantai banyak terdapat makanan kaki lima yang umumnya menyediakan makanan dari Makassar. Seperti pisang epek, dan sarabba. Tidak ketinggalan ikan bakar! Sayangnya, perut kami sudah penuh dengan makanan yang kami beli di RM Sulawesi. Rumah makan ini, juga bukan pilihan yang baik. Sudah begitu, harganya mahal!

Kalau Anda ke Kendari, jangan harap akan menemukan mall. Kalau di Makassar masih agak lumayan. Ada Mall Panakukang, dan Mall Ratu Indah (MARI). Sedangkan di Kendari, hanya ada Mandonga Mall. Mall ini hanya dua lantai. Lantai bawah untuk jualan VCD dan kaset. Sedangkan lantai dua, hanya untuk berjualan baju. Dibuat mirip-mirip kios. Kalau dilihat, lebih cocok disebut pasar, hehehe.


Salah Siapa Ini?

Temans, semakin banyak saya bepergian ke pelosok negeri ini, semakin saya sadar betapa indah dan cantiknya negeri ini. Ketika saya naik Cesna 280, dan terbang rendah di atas Laut Banda, betapa saya berdecak kagum melihat yang ada di bawah saya. Ada hutan tropis yang warnanya hitam karena lebatnya, pulau-pulau kecil tak berpenghuni, pantai-pantai dengan pasirnya yang putih, warna air laut yang hijau dan biru sehingga kita bisa melihat ikan-ikan kecil dan coral yang ada di bawah sana.

Saya juga semakin sadar, kayanya budaya kita. Adat istiadat. Buku geografi jaman dulu memang benar. Kita ini negara yang juga kaya budaya. Tak hanya itu, alam gastronomi kita sungguh-sungguh kaya. Masakan-masakan dari hasil laut yang segar, sampai dengan masakan-masakan berkuah santan nan greasy dan mlekoh. Juga kopi, yang kualitasnya tidak ada duanya. Kopi Indonesia selalu mantap. Tidak light atau ampang seperti kopi Siam dan Vietnam. Apalagi kopi ala Starbucks.

Semakin saya jauh ke dalam, saya semakin cinta dengan negeri saya ini. Dan, ketika tiba-tiba banyak kebudayaan kita di klaim negeri sebelah, saya jadi bertanya, ini salah siapa sebenarnya? Sedikit banyak, kita sendiri juga ikut berkontribusi.

Pasalnya apa? Ah, banyaklah... Dulu, ketika saya suka baca catatan Umar Kayyam tentang kedutaan-kedutaan Thailand di luar negeri berjualan durian. Mereka promosi potensi negara mereka. Sedangkan, orang deplu kita tidak melakukan hal serupa untuk promote potensi kita.

Ketika Malaysia pasang iklan pariwisata besar-besaran lewat banyak tipi -termasuk tipi nasional kita- pemerintah kita juga sepertinya kurang bisa menandingi upaya negeri tetangga itu. Di Surabaya saja, banyak saya temui poster besar-besar negeri jiran itu. Untuk datang dan berbelanja di sana. Sementara itu, tak juga saya temui banner dan poster Visit Indonesia 2009. Iklan di tipi juga begitu. Yang ada malah iklan branding Jakarta. You can do everything in Jakarta itu. Lalu, apa kerjanya Departemen Pariwisata dan Deplu? Adanya kasus klaim oleh negara sebelah juga direspon dengan lambat.

Saya sempat chatting juga dengan seorang teman yang tinggal di Jerman, tentang keindahan negeri kita -dia juga seorang traveler- dan betapa biasanya objek-objek wisata di luar negeri yang katanya terkenal itu. Bahkan menara Pisa pun hanya menarik karena dia doyong. Lainnya tidak. Kata dia, itu memang karena bule-bule itu pintar bikin promosi dengan brosur-brosur bagus. Soal potensi, masih kalah bagus dengan Indonesia. Memang benar, kalau negara-negara di luar sana memiliki kelebihan. Seperti sistem transportasi dan tata ruang yang jauh lebih bagus dari milik kita. Tapi, kita juga harus sadar, kalau kita memang kekurangan kemampuan untuk marketing dan branding.

Kalau sempat terdampar di Wakatobi atau pulau kecil-kecil lainnya di Indonesia, Anda akan menjumpai bahwa sangat sedikit sekali turis Indonesia. Rata-rata memang bule. Saya sering heran kenapa. Tapi, seharusnya saya tidak perlu heran, karena orang Indonesia rata-rata kurang senang liburan yang adventurous. Senangnya, liburan dan belanja. Nah, daripada uang untuk membeli tiket ke Indonesia Timur yang relatif mahal dibandingkan ke Singapore atau Malaysia dan menjalani liburan dengan fasilitas seadanya dan tidak pasti, lebih baik, membuang uang ke Singapore atau Hongkong. Jadi, sebenarnya sangat wajar, kalau kemudian banyak pulau-pulau kita dibeli oleh asing, karena kita tidak suka pergi ke pulau-pulau itu.

*moral of the story: saya harus bisa renang dan diving tahun ini*

Monday 24 August 2009

Traveling Memang Selalu Indah

Jalan sendiri atau diuruskan, liburan memang selalu indah. Karena, kemarin Minggu, dan aku malas keluar. Menjelang buka puasa, aku iseng-iseng buka-buka buku jaman dulu. Uppsss... coba tebak apa yang aku temukan? Oh, itinerary waktu traveling ke Thailand. Ya jadwal-jadwal kereta, bus, nomor telepon hostel, jalur bus, etc...etc. Tidak ketinggalan juga, tiket Air Asia! Oh, jadi teringat masa-masa itu.

Hal yang kita ingat adalah, kita bertiga terdampar ke Suvarnabhumi Airport seperti terlempar ke masa yang lain. Dari sumpeknya Soekarno-Hatta sampai ke modern Suvarnabhumi ini. *Kemudian baru tahu, kalau teryata, ada bandara yang lebih keren lagi, Incheon di Seoul, Korea Selatan*

Kembali ke masalah itinerary itu, aku jadi teringat Bebe yang menggotong-gotong koper warna merahnya, aku yang terseok-seok dengan tas fitness (I have problem with my back, so I decided to use travel bag instead), dan Emmy dengan tas ransel besarnya dan travel bag-nya. Menaiki jembatan penyeberangan di depan Pratunam Centre. Diantara gajah-gajah. Whuppp...whuppp... Ingin tertawa sendiri rasanya.

Terus juga nemu tiket masuk Grand Palais. Heran kenapa, yang teringat di benakku, justru cowok dan cewek yang dengan tegangnya bertengkar dengan Bahasa China. Whussss... di tengah udara bulan Agustus Thailand yang dahsyat panasnya.

Terus nemu tiket terusan ferry di Chao Praya. Tiket yang membawa kita seharian tidak keluar dari sungai. Kesana kemari ikut rute yang enak. Sampai akhirnya, kita terbawa hampir ke arah luar kota. Untung, di Thelwes kita tersadar. Karena Thelwes sebenarnya juga sudah tidak masuk dalam tourist map. Kalau kita tidak tersadar disana, kemungkinan besar kita akan terbawa ke arah luar kota. Karena ternyata sungai Chao juga menghubungkan Bangkok dengan wilayah-wilayah di sekitarnya.

Ah ya, aku juga nemu beberapa bon makan..... Ah, betapa indahnya masa-masa itu. Liburan memang selalu menyenangkan. Setidak enak-enaknya liburan, masih tidak enak tidak ada waktu untuk liburan.

Am I Too Old Traveling?

Ketika membaca buku Trinity, The Naked Traveler dan bicara mengenai telatnya umur orang Indonesia untuk traveling, terutama traveling ke luar negeri. Benar juga. Miss T tidak salah. Kata Miss T, kita bisa traveling ke luar negeri kalau sudah bekerja selama beberapa tahun dan setelah didahului dengan masa menabung. You are definitely right, Miss T!

Aku, memulai traveling ke luar negeri ketika berumur 26 tahun. Travelingnya juga tidak jauh-jauh amat. Cukup ke negeri di seberang air besar. Singapore sama Malaysia. Itupun setelah direncanakan dengan cukup matang selama 6 bulan, bersama dengan tiga orang teman cewekku. Masa, umur segini belum pernah pergi ke luar negeri.

Tentu saja, itu adalah perjalanan independent. Selama beberapa bulan, Nadia browsing ini dan itu. Booking hotel dan tiket dengan kartu kredit Sophie (ah, hanya Sophie yang punya kartu kredit waktu itu). Saat yang kita pilih liburanmu juga waktu peak season, Tahun Baru!

Selama satu minggu traveling, kami sudah hitung dengan manis dan matematis diatas kertas kemana kami semua akan pergi. Nadia, orang yang sangat terencana membuat jadwal ini sangat enak. Dia bahkan menghitung berapa waktu yang dibutuhkan untuk kesana dan kesini. Misalnya saja, lama penerbangan dari Surabaya ke Batam, terus dari Bandara Hang Nadim ke terminal ferry Batam Centre. Dengan menggunakan perencanaan ini, kita bisa estimasi jam berapa kita akan sampai di negara tetangga. Dari hitungan Matematis, mulai dari flight jam 7 pagi, kita dipastikan sampai di Singapore jam 3 sore. Itu karena ketika kita menyeberang sebelum jam 12, masuk ke imigrasi Singapore belum begitu padat.

Liburan di Singapore-Malaysia yang merupakan liburan kami ke luar negeri, kami catat dengan baik dan buruk. Penuh dengan kenangan deh... Termasuk kenangan tentang masuk angin berjamaah yang menyerang secara bergantian.

Traveling kedua tahun kemarin itu ke Thailand. Bersama Bebe dan Emmy. Traveling ini juga didahului dengan masa-masa menabung, dan booking tiket promo jauh-jauh hari sebelumnya. Jadi, Jakarta-Bangkok PP hanya kena Rp. 760 rebu, dengan pesawat versi gerobak, Air Asia.

Mengingat pengalaman traveling 2006 yang lalu, coba buat deh itu itinerary. Tapi, ternyata teman-temanku tidak ada yang respon. Ya sudahlah. Ehh..ternyata, semuanya berjalan off script atau jalan di luar rencana. Ah, tapi asyik juga. Jalan kesana kemari tanpa tujuan. Hanya kalau butuh pergi ke tempat ini cek di website. Site-site yang awalnya ingin kita kunjungi gagal total berantakan. Kita juga bukan orang yang pagi-pagi jam 6 bangun terus jalan. Tapi, orang-orang pemalas. Jam 10 siang baru mulai jalan. Waaaa....rugi kali, sudah jalan jauh, di luar negeri masih suka molor. Tapi, harap maklum, jam 12 malam kita baru pulang dari jalan. Belum lagi karena faktor USIA. Yang kalau malam baunya Counterpain semua.

Jalan bareng sama teman-teman sepanjang 2009 ini lebih banyak di dalam negeri. Mengingat, krisis moneter internasional. Hah, secara aku diingatkan seorang teman "Jangan pergi dekat-dekat. Kapan kamu akan sampainya pergi jauh??" Ah, benar juga.

Perjalanan terjauh akhir tahun kemarin ke belahan bumi Amerika juga atas kebaikan donor dengan embel-embel short term scholarship. Sayangnya, memang too short. Satu minggu saja. Sampai hari Sabtu malam, Minggu pagi berikutnya sudah harus kembali ke tanah air. Yeah, tapi lumayan. Kapan bisa ke negera Obama lagi, di masa-masa setelah Pemilu dan menjelang Inaugurasi? Tapi, intinya perjalanan yang terakhir ini enak sekali. Tidak terlalu sengsara. Karena semua sudah diurusi. Mulai dari tiket, penginapan, asuransi, bahkan sampai dengan wawancara Visa saja ditungguin, dan bisa dipastikan Visa bakal keluar. Kita hanya butuh datang di tempat yang sudah dijanjikan. Hmmm...

Friday 21 August 2009

Dikomplain Tukang Pijat

Aku tidak, apakah pijat itu hobby atau kebutuhan. Yah, pokoknya saja aku suka sekali dengan pijat. Kalau badan rasanya sudah tidak nyaman, sudah saatnya aku nyetor duit ke tukang pijat. Aku punya beberapa langganan tukang pijat. Tentunya, sebelum menemukan tukang pijat harus melakukan trial and error tukang pijat yang enak.

Nah, sebenarnya, aku tidak hanya suka pijat saja. Tapi juga aktivitas lainnya yang berbau pijat-memijat. Seperti cream bath atau spa. Biasanya, kalau di pijat refleksi, tukang pijat adalah laki-laki. Aku mungkin hampir telah menjajal lebih dari separo tukang pijat refleksi Kertajaya. Mereka kalau pijat aku tidak masalah. Meski, pernah kena komplain satu kali waktu aku kecapekan pulang dari US. Si tukang pijat sampai berdiri dan mengeluarkan seluruh tenaga dia, karena tubuhku kaku semua.

Nah, akhir-akhir ini, ketika aku dipijat perempuan, aku sering mendapatkan komplain. Yang paling jelas dan tegas waktu spa di Bali. Tukang pijat Happy Salon, si Kadek bertanya
"Aduh, tubuh Mbak-nya keras sekali. Olahraga ya Mbak?" Belum sempat aku jawab, si Nadia dan Sophie sudah bilang "Iya, dia itu tukang fitness kok..."
"Ooooo.. pantesan..." jawab si Mbak sambil terus memijat-mijat tubuhku. Untung, tubuh si Kadek besar, jadi dia tidak masalah dengan tubuhku yang keras itu.

Masalah baru terjadi hari Minggu kemarin di Jakarta. Daripada bengong nunggu Intan hair extension, aku sekalian saja creambath. Yang creambath rambutku, orangnya kecil. Ketika dia mengurut kepalaku, tidak masalah. Meskipun menurutku kurang keras. Nah, gilirannya dia memijat punggungku, dia sampai gerak ke kanan dan ke kiri, dengan semua tenaganya. Akan tetapi, tenaga yang dia keluarkan itu sepertinya tidak sepadan dengan hasilnya. Ah, kasihan sekali anka ini. Aku masih diam saja. Terus akhirnya aku tanya ke dia,
"Bagaimana, kuat tidak pijat?"
"Ah, Mbak jangan gitu dong. Kuat lah saya pijat Mbak...:"
"Ya sudah kalau begitu." Kemudian, dia terus saja memijat. Tapi, lama-lama, tidka tega juga melihat dia. "Sudah, berhenti saja. Pijat saja tangan"

Pas dia memijat tangan ini,baru ketahuan apa yang ada di dalam benaknya. "Mbak ini olahraga apaan sih, kok ototnya sampai keras banget?" Saya jawab saja, "jogging"
"Ah, masak jogging bisa sekeras ini"
"Ya bisa dong. Kalau tidak percaya, coba saja jogging tiap pagi..." Tapi, dia menggeleng-geleng. Tanda tidak mau.

Yang mengejutkan aku, ternyata untuk creambath sejam itu tarifnya hanya Rp. 15 ribu. Gila, di belantara Jakarta masih ada creambath seharga itu. Apa dia tidak rugi? At the end, creambath-ku justru digratiskan karena tarif untuk hair extension Intan sudah mahal.

Wednesday 19 August 2009

How to Start a Day

Bagaimana untuk memulai sebuah hari? Sudah beberapa hari ini, aku mulai mejadi coffee addict lagi. Selalu saja ada secangkir kopi di meja, di sebelah komputer. Setiap hari, aku mulai dengan rutin yang sama. Sarapan. Bisa ringan, bisa berat. Tergantung perut mintanya seperti apa.

Begitu datang, langsung menyalakan laptop, dan mencari koneksi ke wireless. Tapi, sudah dua hari ini agak susah konek ke wifi dari laptop. Entah, apa yang terjadi dengan laptopku. Sepertinya, dia agak remuk. Yah, laptopku juga membutuhkan diri untuk istirahat. Hasilnya, aku harus mengetik ke Bangku Kosong. Alias meja yang tidak ada penghuninya. Meja yang kalau diduduki penghuninya tidak akan tahan lama.

Hari ini, beberapa hal harus dibereskan. Seperti, jadwal ke Wakatobi minggu depan dan jadwal rekaman untuk pembuatan iklan. Semuanya harus beres dalam minggu ini. Jadwal ke kabupaten kepulauan itu sudah beres. Dari Kendari ke Wakatobi, aku sudah minta tolong Pak Ruslan untuk pesankan tiket Susi Air. Dari Surabaya, masih belum tahu.

Setiap pagi, memang harus dimulai. Dengan apapun. Dalam beberapa hari ini, kopi telah memulainya. Kopi bisa lebih menenangkan aku. Sampai detik ini, aku masih harus duduk dan diam sebentar untuk mengumpulkan kembali energi-energiku yang telah habis. Jujur, setahun belakangan ini, aku telah menghabiskan semua energi yang aku miliki, untuk tujuan itu.

Aku tidak menyesal, karena semua tidak seperti yang telah aku rencanakan dengan baik dan matang. Aku, hanya saja merasa sangat capek. Capek sekali.

Aku hanya butuh beberapa saat untuk diam. Sebelum, aku membuat kembali lompatan jauh ke depan. Ya, aku tahu, kalau hidupku tidak akan berhenti disini.

Aku hanya tahu, pagi ini aku memulainya dengan secangkir kopi. Membiarkan cairan berwarna hitam itu mengaliri tenggorakanku yang kering. Bercampur dengan ludahku, dan kemudian masuk ke dalam sistem pencernaan. Tidak seberapa lama, kafein akan mengalir ke otakku. Dan, membiarkan semua yang ada di dalam otakku tertuang dalam tuts-tuts keyboard komputer. Aku tidak tahu, apa yang akan keluar itu. Aku hanya ingin menulis saja. Aku tahu, menulis akan membuatku menjadi lebih baik.

Sama seperti melukis. Sayangnya, aku tidak bisa melukis. Aku hanya bisa menulis. Itupun, bukan sebuah tulisan yang bagus. Hanya sebuah kalimat demi kalimat yang popped di dalam otakku. Seringkali, ide-ide yang tidak elit, hehehe. Aku hanya tahu, kopi bisa menjadi endorfin. Yang membuat merasa senang dan gembira.

Aku, hanya tahu itu. Sudah. Cukup.

Sebentar lagi, aku ingin kembali merangkai semuanya. Semua mimpi itu. Karena aku hanya tahu, orang-orang sepertiku, hanya karena mimpi-lah tetap bisa hidup dan bertahan.

Well, I think I have gotta back to work. I have to make some scenario on my documentary film, as well as the story line.

Tuesday 18 August 2009

Spontaneus Jakarta-3

Pagi-pagi harus meninggalkan rumah Donny. 17 Agustus. Semua orang harus upacara. Donny juga harus upacara karena dia bekerja di bawah Astra Group yang para bos terkenal sangat nasionalis. Karena mbarengin Danur yang upacara jam 7 pagi, kita berangkat dari rumah jam 6 pagi.

Sementara itu, Nisha dan aku akan bertemu di ITC Cempaka Mas. Untuk selanjutnya kita ke rumah dia di Sumurbatu. Nisha baru tinggal di tempat ini selama satu bulan. Dia pindah dari kos lamanya di tempat Mimi di Cikini. Dia tinggal berdampaingan dengan nenek dan budhe-nya. Rumahnya merupakan tempat dengan tiga kamar. Barang-barang masih belum dibereskan. Masih bertebaran di lantai. Oh, sudah lama sekali aku tidak ketemu dengan Nisha. Lebih dari satu tahun. Sepertinya, ketika aku training terakhir untuk BEE Project di Treva itu. Kita ngobrol sampai malam di TIM, tepatnya di warung Mas Min.

Seharian yang dilakukan di Sumurbatu adalah menoton Broken English, craving brownies, minum teh dan bicara hal-hal tidak penting. Nah, Broken English adalah film yang menarik. Dibintangi oleh Posey Parker. Bercerita tentang seorang perempuan bernama Nora. Dalam usianya yang sudah 30 lebih. Nora selalu berhadapan dengan lingkungan kalau orang-orang telah menikah ataupun sudah berpasangan. Sementara dia selalu bertemu dengan orang-orang yang salah. Dia juga terjebak dengan pekerjaan yang sama selama 6 tahun di sebuah hotel. Pekerjaan dia dirasa sangat membosankan.

Sampai pada suatu ketika dia bertemu dengan pria Perancis bernama Julien. Pria ini banyak membukakan banyak hal dalam kehidupan Nora yang memang sangat membosankan. Bahkan, Nora, tidak pernah menikmati hidupnya. Sampai kemudian Julien harus kembali ke Perancis. Nora ditinggalkan lagi oleh satu orang lelaki. Julien mengajak Nora untuk ikut bersamanya ke Perancis. Hanya karena alasan pekerjaan, Nora menolak ajakan Julien. Dia kemudian hanya meninggalkan alamanya kepada Nora.

Perginya Julien membuat hidup Nora semakin kosong. Namun, tiba-tiba dia merasakan kalau hidupnya selama ini ya itu-itu saja... Sampai akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya, dan pergi dengan temannya Audrey ke Perancis.

Nahas bagi dia, dia kehilangan alamat Julien ketika dia di Perancis. Hidupnya tambah tidak tentu. Akan tetapi, ketika Audrey mengajak dia pulang, Nora memutuskan untuk tetap tinggal di Paris meskipun dia tidak tahu, akan melakukan apa di kota ini.

Perginya Audrey, membuat Nora menikmati setiap detik hidupnya. Dia pergi ke galeri. Dia berteman dengan orang baru, minum bersama di cafe atau di bar. Bahkan saling bercerita tentang banyak hal. Dia menemukan begitu banyaknya orang di Paris yang tidak membosankan dan baik hati. Tidak ada yang menipu dan membohonginya. Bahkan, dengan seorang lelaki setengah baya yang dia temui di sebuah bar yang mentraktir dia minum. Sampai tiba waktunya bagi Nora untuk pergi meninggalkan Paris.

Ketika berada di kereta untuk ke bandara, dia bertemu dengan Julien. Mereka sepakat untuk keluar dari kereta dan pergi ke sebuah cafe, for one more drink. dan, Nora tahu kalau dia telah ketinggalan pesawat.

*********

Film ini banyak menghadirkan visual yang gloomy karena memang para tokoh disana juga menjalani kehidupan yang gloomy. Orang-orang berperilaku dengan sangat datar. Tidak ada adegan yang dramatis. Semua seperti sebuah kebetulan saja. Seperti saat Julien dan Nora pada akhirnya bertemu di dalam kereta. Waktu itu, Nora hanya duduk di kursi penumpang. Julien tiba-tiba masuk, dan duduk di tempat yang lain. Nora melihatnya, dan mendatangi Julien. Ketika Nora mendekatinya, Julien hanya santai saja. Dan bertanya, apa yang sedang Nora lakukan di Paris, dan kenapa dia tidak menghubunginya. Film ini jauh dari kesan dramatis Hollywood. Dan, meskipun film ini salah satunya ber setting New York, tapi tidak kelihatan kalau tempat itu ada di New York. Dari keseluruhan adegan shoot di NY, hanya nampak jelas Yellow taxi sekali, dan patung Liberty sekali.

*********
Setelah seharian bermalas-malasan nonton DVD, aku sampai lupa mengabari Arie selama aku di Jakarta. Akhirnya, jam 2 kita cabut ke bandara. Kita membunuh waktu di Solaria Bandara. Eh, ternyata flight ku telat lagi, 50 menit. Disini, kita banyak bicara mengenai piliha hidup dan passion. Dan, Nisha adalah orang yang sangat mengenalku dengan baik. Mengetahui passion ku dengan baik, dan dia setuju tentang langkah ke depan yang akan aku ambil. It's time to go home. I had a very awesome weekend in Jakarta. Everyone was happy. Finally, landed safely in Surabaya after few turbulences.

Spontaneus Jakarta-2

Malam itu, aku menginap di Tika. Kulkas dia baru. Rumah petaknya sekarang sudah mulai penuh dengan barang-barang. Juga sudah ada TV dan DVD player. Aku lihat, kulkasnya penuh dengan bahan-bahan makanan. Ada berbagai macam makanan beku, susu, keju, dan lain-lain. Mirip dengan aku ketika baru saja beli kulkas. Penuh dengan bahan-bahan makanan karena kita takut kelaparan. Aku tertawa saja, mengingat sekarang kulkasku hanya berisi barang-barang yang penting saja.

Pagi hari, kita masak oseng-oseng ikan asin yang memang rasanya sangat asin. Karena ikan ini, semuanya menjadi bau ikan asin. Bau ikan asin tidak mau hilang dari tangan kami. Walaupun sudah kita gosok dengan sabun. Parah.

Jam 10 Donny dan Intan menjemputku. Dan, sempat membuat Jalan Bendi macet beberapa saat. Karena aku belum merapikan semua barang dan tidak sempat memakai sepatu, akhirnya aku berlarian di atas aspalt

We did not have idea where to go. Akhirnya, kita ke Cilandak Town Square (CITO) untuk nonton Merah Putih. Film kolosal perjuangan yang diproduseri oleh Hasyim Djoyohadikusumo. Dibintangi oleh Donny Alamsyah, Lukman Sardi, Darius, Zumi Zola dan anak Hasyim, Saraswati Rahayu. Karena melibatkan orang-orang Hollywood, lumayan untuk lighting, sound, efek visual, dst. Pokoknya tidak norak seperti pada umumnya film Indonesia.

Hari itu, kita menghabiskan waktu dengan makan, creambath dan jalan. Pokoknya, hal-hal yang menyenangkan lainnya. Malamnya, aku menginap di Donny. Rencana awal, akan menginap di tempat baru Nisha di Sumurbatu. Tetapi karena Maghrib masih di Bekasi, dan susah untuk ketemu di daerah tengah, akhirnya aku memutuskan untuk menginap di Donny. Apalagi, kamar sudah disiapkan. Donny sudah agak ngambek waktu aku bilang akan menginap di Sumurbatu.

Spontaneus Jakarta-1

Pergi ke Jakarta saat long weekend sangat menyenangkan. Jakarta sepi. Tidak ada kemacetan. Tidak ada gerombolan orang disana-sini. Benar-benar Jakarta kehilangan sejumlah besar manusia. Oh, pada kemana semua manusia itu? Jadinya, nyaman sekali.

Pergi ke Jakarta kali ini merupakan bagian dari janji yang aku tebar ke teman-teman di disana. Jika, in the middle of 2009, aku akan mengunjungi mereka. Selain, aku juga sudah kangen dengan mereka semua. Aku memang sedang butuh penyegaran.

Pesawat sempat delay 45 menit. Padahal, dari kantor sudah cepat-cepat menuju bandara. Lewat tol. Jam setengah satu sudah sampai bandara.

Jam 5 baru sampai Jakarta. Untung tidak perlu menunggu waktu lama bis jurusan blok M datang. Bis Damri bandara kelihatannya baru mengalami pergantian. Tidak lagi apek seperti biasanya. AC nya juga lumayan dingin. Tapi, tiketnya naik menjadiRp. 20 ribu. Sebelumnya Rp. 15 ribu. Karena jalanan tidak macet, hanya dibutuhkan waktu satu jam untuk sampai di Blok M. Tika sudah menunggu disana. Ketika pertama kali melihatku, dia bertanya dengan terkejut, "Mana barang bawaanmu?" Dia hanya melihatku membawa tas Adidas yang berisi laptop, dan tas kecil tempat sepatu warna merah yang biasanya aku isi perlengkapan fitness. "Ya ini bawaanku..." Dia geleng-geleng, "Wow, aku terkejut melihatnya.."

Dari blok M kita lansung ke Jatet (JakartaTheatre) seberang Sarinah. Tika ada acara disana, liputan acaranya LG Mobile. Dari blok M, kita cukup naik Trans Jakarta koridor 1. Setibanya disana, acara belum mulai. Awalnya, aku menolak ajakan Tika untuk ikut ke acara dia. Mending aku menunggu Wahyu dan Dicky di Oh La La Cafe di bawah. Tapi Tika insist. "Sudah, kamu ikut saja. Kamu makan saja dengan santai. Aku sudah bilang sama Reynaldi (PR LG), kalau aku akan bawa teman.." Jadinya, aku masuk ke dalam acara itu dengan name tag, MEDIA.

Ketika sampai di ballroom, Tika langsung mempersilahkan aku makan. Untung sekali aku tidak membawa banyak barang. Hanya dua tas kecil saja. Sehingga tidak perlu repot dengan membawa barang-barang. Karena Jakarta bukan lingkungan sosialku, aku tidak perlu berbasa-basi dengan banyak orang. Aku langsung mengambil piring untuk makan. Lalu, mencari tempat di pojok untuk makan. Jujur, aku lapar sekali. Kacang rebus yang aku beli di Blok M tidak cukup kenyang untuk mengganjal perutku.

Ketika aku sedang enak-enak menikmati makan, tiba-tiba seorang lelaki mendekatiku. Dan, bertanya kepadaku seperti layaknya seorang teman lama. Gayanya agak endang-bambang.
"Enak tidak nasi gorengnya?"tanyanya sambil menunjuk-nunjuk piringku. Seakan-akan dia mau mendaratkan sendoknya di piringku.
"Belum aku coba" Karena saat itu, aku baru mulai makan, dan baru mengunyah brokoli. "Bentar aku coba" Lalu aku coba nasi gorengku. "Enak. Lumayan. Saladmu bagaimana?" Dia sedang memakan salad.
"Eduuunnnnn...." jawabnya dengan manja. Aku melongo.
"Edun itu apaan sih?"
"Enak bangetttt...." jawabnya sambil mencolek-colek aku. Tika memandangku dari kejauhan. Dia juga agak mengkerut-kerutkan keningnya. "Eh, kamu dari media ya?"
"Ya, kamu?"
"Aku make up artis..." Aku mengangguk-angguk.
"Kamu belajar dimana?"
"Otodidak. Dulu, aku pernah ikut dalam pembuatan Sinetron Dewi Fortuna. Itu tuh, yang bintangnya Bella Saphira, Putri Patricia sama Didi Riyadi. Aku dulu mau ikut disana, karena aku tergila-gila dengan Didi Riyadi"
"Kalau sekarang?"
"Ah, sudah tidak lagi. Didi Riyadi mah sudah tuwir." jawabnya genit.
"Lalu, idolamu sekarang siapa? Dude?"
"Enggak..enggak mau sama Dude. Dude terlalu cewek" jawab lelaki itu sambil menggerak-gerakkan jari kelingkingnya. Lalu tertawa genit "Kalau aku sih suka Teuku Wisnu..." Aku jadi ingin tertawa yang keras.

Dari kejauhan Tika melihatku dengan heran. Ketika si cowok yang tidak pernah aku tahu namanya itu sedang pergi mengambil makanan lainnya, Tika mendekatiku dan bertanya,
"Siapa dia, Mon?"
"Katanya sih make up artist. Aku tidak tahu siapa namanya. Memang kenapa?"
"Aku pikir, dia teman lamamu...." Lalu, kita terkikik.

Ketika sedang asyik craving cakes, Wahyu menelpon. Dia sudah di Oh La La rupanya. Aku bilang sama Tika kalau aku turun dulu ke bawah. Ketika sampai di meja resepsionis, orang LG memanggilku.
"Mbak-nya mau kemana?"
"Ada telepon mendadak dari kantor. Kenapa Mbak?"
"Sebentar Mbak..." Katanya sambil merogoh-rogoh laci meja dia. Dia mencari-cari uang yang biasanya diberikan kepada media. Eh, ya ampun.
"Tidak usah, Mbak. Terima kasih. Ini saya harus buru-buru ke kantor"
"Kalau boleh tahu, Mbak-nya dari media apa?" Waduh, aku bingung harus jawab apa. Spontan aku jawab Indopost.
Si Mbaknya dengan pedenya bilang "Oh gantinya Mas Cep ya?"
"Ya" jawabku sambil lari dan tanpa pikir panjang.

Sementar aku turun, Wahyu sudah duduk di Oh La La dengan segelas susu dingin. Tidak lama kemudian Dicky sama Tika join. Cerita dan curhat-curhatan tambah seru. Tambah malam, Oh La La menjadi tambah aneh. Semakin banyak pria-pria dandy. Kami menghitung uang kecil kembalian. Jumlahnya mencapai Rp. 10 ribu. Ini terjadi, karena kami berkali-kali pesan makanan, dan berkali-kali mendapatkan uang kembalian kecil.

Kita berempat di cafe itu sampai over midnite. Benar kata Iit, kalau banyak orang ke Jakarta untuk belanja, aku ke Jakarta hanya untuk ketemu teman dan nongkrong di cafe. Semua orang memandang kami, dua orang lelaki dan dua orang perempuan. Suatu pemandangan yang agak janggal di Oh La La.

Jakarta yang panas tambah panas.


Saturday 15 August 2009

No Tittle-2

Early in the morning, I got SMS from Hana. She is my best friend niece. She quoted from Paulo Coelho's Brida. When you find your path, you must not be afraid. You need to have sufficient courage to make mistakes. Disappointment, defeat and despair are the tools God user to show us the way.

Suddenly, I wanted to cry. I really need thing to grip. Last night, I dreamed that I cried. But, indeed. I cried. I did not know why I cried. I'm fine. I just need strength to set up again my way. To find a new map. I need the direction. I've just lost my old one...

Friday 14 August 2009

No Tittle

For the last few days, I contemplate about my current live. Is it in the right track? Do I do it with all passion? Suddenly, I found something, that I'm no such big different with Any Sacks, the character in Devil Wears Prada.

For the last five years, I have been with the same job. My work is great. I enjoy it, indeed. But, sometimes, I feel that I'm in the wrong place. For somebody who knows me better, does not believe that I'm dealing with that such issues in my work. I enjoy it since I travel to many places, I meet new people and I do learn from them. I have many wonderful experiences. I earn enough to support my personal life.

But then, I realize that I'm still in the same point. I feel like Santiago, the shepherd, who found that his life had been so perfect. He'd been around Spain with his sheep. Then, he dreamed about finding treasure in Egypt. The, the adventure began. He sold his sheep and went to Egypt. Even though, he did not know anything about Egypt, and how far it is from Spain. The future is unsure, if I can say. But, he was not afraid. He just believed in his dream.

This time, I have to be like Santiago. I have to sell all my sheep. And, catch all my dreams. I know, the future is uncertain.

As an epilog, I remember the last scene in Devil Wears Prada, when Andy threw her cell-phone and left her boss in Paris.

Thursday 13 August 2009

World Best Things

Selain bersama keluarga, ada hal yang sangat menyenangkan dan membuatku bahagia. Teman yang baik, makan makanan enak, dan mandi air hangat. Mungkin juga bisa ditambahkan, minum sparkling langsung dari botolnya.

Teman yang baik dan makanan enak itu biasanya merupakan satu kombinasi. Berkumpul dengan teman yang baik, sambil mengobrol dan menikmati makanan yang lezat. Setelah itu, pulang mandi air hangat. Yeah..yeah, itu adalah hal yang terbaik.

Seperti semalam. Ada kombinasi ketiga hal itu. Ketika pagi hari aku mendapatkan berita yang kurang mengenakkan, aku bilang ke G. Dan, aku bilang untuk setengah "menghiburku". Dia bilang ya. Menghiburku berarti adalah mentraktirku makan. Memang, sudah dari beberapa saat yang lalu dia ingin mentraktirku. Tapi terus saja tertunda. Nah, kemarin sebenarnya memang sudah ada rencana. Awalnya Senin. Hanya saja, Senin kemarin bezoekt Alda. Selasanya Judith tidak bisa karena dia harus ke gereja. Nah, baru semalam waktunya kita untuk having fun.

Aku bilang ke G. "Aku pokoknya mau ditraktir makan enak." Jawabnya, "Beres, makan apapun yang kamu suka..."

Jadilah kita ke Bakerzin. Karena kita sudah begitu bosan dengan makan di Sutos. Yang restonya hanya itu dan itu. Gusti sudah bosan. di Sutos, paling ya ada Baskin, Excelso, Dome atau Izzi. Biasanya, kalau makan di Sutos hanya butuh ambient saja. Semalam, kita hanya ingin makan enak.

Akhirnya, benar-benar terlaksana makan enak. Aku menghabiskan chicken cutlet with potatoes satu porsi, es kopi dengan raisin dan satu warm chocolate cake. Belum lagi mencoba wafel-nya. Wuiiihhh... enak dan kenyang sekali. Warm coklatnya ini yang paling lezat. Coklatnya memang anget. Dibakar. Tapi, coklat dalamnya masih bisa meleleh. Di atas cake dikasih es krim. Jadi, ketika cake itu dipotong, coklat cair di dalamnya akan meleleh, dan bercampur dengan es krim yang juga meleleh karena kena panas. Jadi, melting coklat panas bertemu dengan es krim. Rasanya, tidak bisa dibayangkan enaknya. Yuummmmyyyyyy.......

Setelah itu, baru makan potongan strawberrynya satu demi satu.

Dan, malam berlalu dengan elegan.

Tuesday 11 August 2009

The Smell of Makassar

This city smells like cigarettes. Inilah kesan yang aku dapatkan ketika aku datang pertama kali dan kembali lagi kesini. Yeah, Makassar baunya mirip asbak. Dimana-mana, orang-orang mengepulkan asap dari dalam mulutnya. Membuat orang-orang di sekitarnya merasa sesak, dan seperti ada kabut di sekitar.

Sejak aku mendarat di Hassanuddin, asap langsung menyambut. Asap ini lahir dari mulut para pejemput, para sopir taksi, para makelar, para tukang ojek, para porter dan juga para penumpang yang sebelumnya telah menahan diri untuk tidak merokok selama di penerbangan.

Ketika saya datang dan makan di warung ikan Paottere di dekat Tempat Pelelangan Ikan (TPI), asap memenuhi ruangan. Baik asap yang berasal dari bekas bakaran ikan ataupun dari asap rokok para pengunjung. Karena ruanh ber AC, bisa dibayangkan seperti apa ruangannya. Kurang sekali oksigennya.

Dimana-mana, bau asap rokok. Bahkan di Mall Panakukang yang notabene adalah mall terbesar, tanda larangan merokok tetap dilanggar. Kebakaran tetap saja keluar dari mulut para pengunjung. Di hotel Horison, di ballroom nya sampai ditulis tanda larangan besar untuk merokok, and thanks God, it works. Tapi, begitu keluar dari ballroom, bau rokok kembali menyeruak. Ya di lobby hotel. Ya di selasar hotel. Ya di restoran yang notabene sebagian bebas rokok. Tak ketinggalan juga kamar! Gosh!

Saya akan paham, kalau mereka merokok di warung kopi yang tidak ber AC. Bagaimana bisa orang-orang tetap merokok di dalam ruangan berpendingin. Apa mereka tidak tahu, kalau itu sangat merugikan orang lain? Saya bukan sok sehat, tapi itu bisa membuat orang sangat sesak. Dan, meskipun merokok itu adalah hak, tapi telah melanggar hak orang lain untuk menghirup udara bersih.

Kata teman saya, Henky Widjaja yang dengar keluhan saya bilang " Ya, mereka sebagian besar memang masih primitif"

Friday 7 August 2009

Indonesia Tanah Airku...

Tanah Airku tidak kulupakan
Kau terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak akan hilang dari kalbu....



Ketika aku turut menyanyikan lagu itu di Forum Kawasan Indonesia (KTI) yang keempat di Makassar, dua hari yang lalu, aku merasakan sangat terharu. Dadaku terasa sesak. Barangkali, kalau aku tidak di forum, pasti air mataku telah menetes. Aku tidak tahu kenapa aku begitu terharu dengan lagu itu.

Aku berada di dalam sebuah forum yang berasal dari delegasi 12 propinsi di KTI. Ada Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara, Papau, dan Papua Barat. Mereka, adalah orang-orang yang dengan semua keterbatasannya berusaha keluar dari persoalan hidup yang mereka alami. Mereka melakukan banyak hal untuk komunitas dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Mereka, adalah orang-orang yang berani bermimpi, dan mewujudkan mimpi itu. Coba saja Linggi. Seorang mantan kepala desa di di Uru Batang, yang membuat listrik mikrohidro sehingga desanya bisa merasakan terangnya listrik. Dengan menggunakan turbin, desanya tidak lagi gelap. Anak-anak bisa belajar kala malam, dan para orang tua menjadi lebih produktif.

Atau, ibu guru Minnee Wally dan Elisabeth Hole, yang mengajarkan kurikulum lingkungan hidup, dengan belajar sambil menyelam. Di daerah Teluk Tanah Merah ini, anak-anak diajarkan untuk mengenal laut yang mereka miliki, dan mencintai laut-laut mereka. Atau, seorang lelaki bernama Silverius Oscar Unggul, yang menjadi salah Young Leader 2009 yang ditetapkan oleh World Economic Forum.

Di sekelilingku, selama dua hari, bertebaran dengan bebas energi-energi positif dari orang-orang ini. Orang-orang yang memiliki semangat. Orang-orang ini, adalah mereka yang mampu memberikan inspirasi bagi orang-orang yang ada di sekitarnya.

Di forum ini, aku mendapatkan kembali semangatku. Semangat, yang akhir-akhir ini entah hilang kemana. Seperti biasa, aku seperti memiliki siklus, sebuah turning point dalam hidupku. Dan, saat ini adalah yang terparah. Ketika awalnya berada di dalam forum ini, aku malas luar biasa. Karena aku tahu forum ini "sedikit" ada basa-basi. Aku kurang suka dengan forum-forum seperti ini. Hanya karena akan ketemu dengan JICA, aku berangkat ke Makassar Selasa pagi yang lalu.

Tapi, aku mendapatkan banyak hal yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Aku, kembali terinspirasi untuk melakukan banyak hal. Aku tahu, bahwa aku tidak boleh menyerah apapun yang terjadi. Aku akan terus bertahan dan berjuang. Aku tahu, di depanku, aku masih bisa bermimpi apa saja.

Aku jadi hidup kembali. Dan, aku sangat senang ada forum itu.

Siang Hari di Phoenam

Kemarin siang, setelah meeting dengan Nakajima-san dan Wanna di JICA office di Kantor Gubernur, aku sempatkan diri ke Phoenam. Saat itu, jam menunjukkan 12.30 waktu Indonesia Tengah. Waktunya makan siang. Pagi aku tidak sarapan. Tapi, kalau ke Phoenam sebenarnya hanya ada kopi, roti dan mie goreng. Ah, peduli amat. Kalau perlu, makan roti dua porsi. Aku tidak jadi mampir ke FIPO, karena Haji Basir sedang rapat, entah dimana, dan mungkin juga kantor sepi. Katanya, tropi mau dikirim saja.

Siang itu, ada sekitar 10 orang pengunjung di Phoenam. Ya, tentu saja, para pengunjungnya adalah lelaki semua. Lima orang laki-laki duduk di meja sebelahku. Mereka semua China. Sedang mengobrol dengan serunya. Dua orang lelaki, duduk di meja seberang, sedang bermain catur. Kemudian dua orang lelaki, duduk agak jauh dari mejaku. Di dekatku, duduk dua orang lelaki, satu orang menyanyi "Indonesia Raya" Lalu, masuk seorang lelaki setengah Arab. Dia memaki kopyah. Sedikit berjenggot. Sudah berwarna putih. Lelaki ini, memandangku dengan penuh selidik. Sepertinya, aneh melihat seorang perempuan duduk sendirian di warung kopi di tengah hari bolong. Aku cuek saja. Disana meminum kopi susu dan memakan dua porsi roti. Satu porsi roti panggang kaya, dan satu porsi roti panggang telur rebus. Aku memang sedang lapar.

Kopi di Phoenam memang tetap enak. Aku meminumnya pelan-pelan. Setiap lelaki yang masuk ke dalam Phoenam, selalu melirik ku. Tak jarang yang senyum dikulum.

Hal yang sama aku alami bersama dengan Rina di Jalan Sadaeng. Ketika kita minum sejenis STMJ, tapi ada namanya. Hanya saja aku lupa. Kita disana minum, dan sambil makan pisang goreng dan ketela goreng. Disana, kita sampai jam 12 malam. Semua orang setengah melotot ke kita. Apalagi, kita bercerita dengan seru banyaknya kisah perjalanan yang kita lakukan. Cerita-cerita konyol saat traveling. Juga, tentang mimpi dan rencanaku bersama dengan Lala tahun depan. Upsss..ternyata, Rina kenal juga Lala. Kita lalu sepakat, kalau tahun depan, kita akan traveling bersama, ke benua itu. Dan, berpikir, siapa-siapa saja orang yang ada di benua itu, dan berkenan memberikan kita surat undangan, hehe. Oh, aku tidak menyangka bisa ketemu dan mengobrol sebebas ini dengan adik kelasku ini. Oh, senang sekali, menemukan satu lagi orang yang sejenis. Jam 12 malam, kita sepakat untuk cabut dari tempat ini. Aku ke hotel, Rina ke kos di Jalan Hadji Bau.

Monday 3 August 2009

Jember Fashion Carnaval


Well, the 8th Jember Fashion Carnaval was held yesterday. I went there with three companions: Any, April and Ery. It's the first time I went there to see it with my bare eyes, mingled with the crowd of thousands of people. Under the hot weather. The sun hit me, but it's fun!

This event holds annually. Each year, the theme is always different. It was initiated by Mr. Dynan Faryz (picture left) in 2002. It's such wonderful idea comes from the man who lives in Jember. Brilliant idea is not always from people who live in Jakarta. 

The name of carnival itself spells in Indonesian, Carnaval. Some people say, that it's a fault adaption. They should have used "carnival". For me, it's interesting to use carnaval than carnival. It's just different. We don't have to use the same word or sentence to describe something. 

JMC's theme 2009 is The World Unity. It tries to combine all the world aspects such as animal, plants, cultural, social, etc. It divided into 8 groups. Each group contained one sub-theme. Such as in Animal Plant, we can see people dressed like animal creatures. Such as scorpion, butterflies, etc. In floral, we can see people became vegetables like carrot, chili, and other forms. Greens, reds, oranges, and many other colors. So colorful. 

According to local newspaper, Mr. Faryz using the idea of world unity as his concern to many crisis in the world; economic, politic, environment, war, hunger, etc, as well as the rapid increasing of technology. 

The paraded for 3,6 km, from alun-alun to Stadium. Streets as the run away. And, 600 volunteers acted like they are a pro- model.  

Saturday 1 August 2009

Ketakutan

Saya takut ketinggian. Saya tidak tahu, kapan ketakutan itu mulai bercokol dalam diri saya. Misalnya saja, saya butuh waktu beberapa lama untuk naik ke eskalator. Terutama yang memiliki kecuraman tinggi.

Ketika di Washington DC tahun lalu, saya mengalami satu ketakutan yang sangat hebat dengan eskalator stasiun Metro Dupont Circle. Menggunakan subway merupakan satu alternatif tercepat untuk mencapai tempat kursus di Reagan Building di Pennsylvania Avenue. Tapi, begitu aku sampai pada eskalator masuk stasiun, jantung saya mau copot. Tinggi sekali eskaltornya, dengan kecuraman sekitar 45 derajat. Belum lagi, di stasiunnya semacam masuk ke dalam sebuah terowongan. Hari itu, udara menunjukkan minus 8 derajat Celcius. Jadi, bisa dibayangkan ketika hawa dingin bercampur dengan ketakutan.

Saya takut sekali. Menggigil. Antara dingin dan ketakutan. Ingin saya mencari jalan lain. Belum lagi, suara eskalator yang berdecit-decit. Menunjukkan kalau eskalator itu usianya mungkin lebih tua dari aku. Ada bau sedikit gosong juga dari karetnya. Herannya, bule-bule itu justru berlarian turun dan naik.

Sesampainya di bawah, saya pucat luar biasa. Bahkan, untuk hanya membeli karcis (stippen kaart) saja tidak mampu. Energiku rasanya habis.

Ketika lunch break, saya ditanya Pak Dion.
"Kamu kenapa takut disana tadi? Apa yang membuatmu takut?"
"Tidak tahu Pak. Hanya takut saja."
"Kenapa harus takut, kalaupun kamu jatuh, di bawahmu masih ada orang. Mereka akan menangkapmu. Tidak, kamu tidak akan langsung jatuh ke bawah. Coba bayangkan, kalau kamu di laut. Kamu akan sendirian disana. Kamu harus mempertahankan dirimu sendiri" lanjut Pak Dion yang dulunya seorang pelaut. Dan, benar kata dia. "Besok, kamu bareng sama saya"

Beberapa hari berikutnya, saya ikut dengan Pak Dion. Berusaha untuk mengatasi ketakutan-ketakutan saya. Hari demi hari. Dan, I made it! Dalam dua hari terakhir di DC, saya berhasil melewati eskalator itu tanpa rasa takut sekalipun.

Mates, saya pikir, ketakutan itu wajar ada dalam diri manusia. Karena ketakutan itu pula, manusia dibedakan dirinya dengan makhluk lainnya. Sehingga, manusia berusaha dan belajar untuk mengatasi ketakutan-ketakutannya. Ketika kita masih memiliki ketakutan, kita menjadi orang yang tidak akan pernah maju. Senantiasa terkurung dalam dunia sempit yang bernama ketakutan.

Dan, saya adalah orang yang sedang belajar untuk mengatasi semua ketakutan.