This city smells like cigarettes. Inilah kesan yang aku dapatkan ketika aku datang pertama kali dan kembali lagi kesini. Yeah, Makassar baunya mirip asbak. Dimana-mana, orang-orang mengepulkan asap dari dalam mulutnya. Membuat orang-orang di sekitarnya merasa sesak, dan seperti ada kabut di sekitar.
Sejak aku mendarat di Hassanuddin, asap langsung menyambut. Asap ini lahir dari mulut para pejemput, para sopir taksi, para makelar, para tukang ojek, para porter dan juga para penumpang yang sebelumnya telah menahan diri untuk tidak merokok selama di penerbangan.
Ketika saya datang dan makan di warung ikan Paottere di dekat Tempat Pelelangan Ikan (TPI), asap memenuhi ruangan. Baik asap yang berasal dari bekas bakaran ikan ataupun dari asap rokok para pengunjung. Karena ruanh ber AC, bisa dibayangkan seperti apa ruangannya. Kurang sekali oksigennya.
Dimana-mana, bau asap rokok. Bahkan di Mall Panakukang yang notabene adalah mall terbesar, tanda larangan merokok tetap dilanggar. Kebakaran tetap saja keluar dari mulut para pengunjung. Di hotel Horison, di ballroom nya sampai ditulis tanda larangan besar untuk merokok, and thanks God, it works. Tapi, begitu keluar dari ballroom, bau rokok kembali menyeruak. Ya di lobby hotel. Ya di selasar hotel. Ya di restoran yang notabene sebagian bebas rokok. Tak ketinggalan juga kamar! Gosh!
Saya akan paham, kalau mereka merokok di warung kopi yang tidak ber AC. Bagaimana bisa orang-orang tetap merokok di dalam ruangan berpendingin. Apa mereka tidak tahu, kalau itu sangat merugikan orang lain? Saya bukan sok sehat, tapi itu bisa membuat orang sangat sesak. Dan, meskipun merokok itu adalah hak, tapi telah melanggar hak orang lain untuk menghirup udara bersih.
Kata teman saya, Henky Widjaja yang dengar keluhan saya bilang " Ya, mereka sebagian besar memang masih primitif"
No comments:
Post a Comment